Ekonomi Haji Pascapandemi dan Uang Jokowi

Anggota DPR RI Amir Uskara. (foto: dpr.go.id)

Oleh Dr. H.M. Amir Uskara *)

Jika tahun 2022 ibadah haji sepi di tanah suci,  kini pascapandemi ibadah haji “ramai” kembali. Sekitar 220.000 orang jamaah haji Indonesia –- jumlah terbesar per-negara di dunia –- memadati Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah di bulan Juni tahun 2023.

Besarnya jumlah jamaah haji Indonesia, terlihat jelas, dari berlakunya “Uang Jokowi” di Saudi Arabia. Di mana-mana, di Saudi Arabia, orang bisa bertransaksi dengan memakai mata uang rupiah. Baik di toko kelontong, supermarket, hotel, maupun restoran. Pedagang di Saudi Arabia lazim menjulukinya Uang Jokowi.

Ibadah haji adalah istimewa karena untuk melaksanakannya butuh kesehatan badan dan kecukupan uang. Orang miskin, tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji. Hanya orang mampu secara fisikal dan finansial yang diwajibkan, dan itu pun hanya boleh sekali dalam seumur hidup.

Pinjam fatwa mantan imam besar Masjid Istiqlal, almarhum Prof. KH Mustofa Ya’qub, umat Islam yang melaksanakan ibadah haji kedua, ibadahnya tak lebih dari mengikuti hawa nafsu setan. Kenapa? Nabi Muhammad yang lahir di Makkah saja, seumur hidupnya hanya sekali menunaikan ibadah haji.

Tampaknya, jauh sebelum ini, Nabi Muhammad sudah mengetahui, kelak, orang Islam akan berbondong-bondong naik haji, termasuk orang miskin yang seharusnya tidak wajib ke Makkah. Di antara mereka, ada yang menjual rumah dan tanah demi naik haji. Padahal, aset tersebut sangat penting untuk kelanjutan hidupnya.

Nabi Muhammad memberi contoh, beliau yang lahir dan hidup di Makkah saja, hanya naik haji sekali seumur hidupnya –- lalu bagaimana dengan orang yang hidupnya di negeri yang jauh dari Makkah?  

Jika mampu berhajilah. Tapi cukup sekali seperti yang dicontohkan Rasulullah. Kenapa? Tenaga dan dana untuk ibadah haji –- khususnya yang kedua dan seterusnya –- lebih baik dimanfaatkan untuk membangun umat di wilayah atau negaranya masing-masing. Seperti membangun pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain. Manfaatnya jauh lebih besar untuk kemaslahatan umat ketimbang uangnya dipakai untuk naik haji yang kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ekonomi Haji

Kuota haji untuk Indonesia tahun 2023 sudah normal kembali, sebanyak 220.000 orang. Naiknya kuota haji dari KSA (Kerajaan Saudi Arabia) ini, tidak diperoleh dengan mudah. Tapi melalui pertimbangan seksama dari KSA.

Pertama, karena Indonesia bisa meyakinkan KSA bahwa masalah Covid-19 telah bisa diatasi. Indonesia diakui dunia internasional sebagai negara yang mampu mengatasi pandemi dengan sangat baik. Catat, di beberapa negara, masalah Covid-19 masih belum selesai, termasuk di Cina.

Kedua, Indonesia tak hanya berhasil mengatasi pandemi dalam waktu singkat dan menjadi contoh dunia. Tapi juga  mampu meminimalisasi dampak negatif pandemi terhadap kinerja perekonomian nasional. Keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah pandemi mendapat pujian PBB.

Dengan latar belakang itu, sudah sepantasnya KSA memberikan kuota haji Indonesia seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Namun, alangkah baiknya, jika pascapandemi, Indonesia mampu memanfaatkan peluang ekonomi haji secara maksimal agar momentum ibadah haji dapat menambah kue perekonomian nasional.

Potensi keuntungan ekonomi ini akan jauh lebih besar jika mengikutsertakan ibadah umrah ke dalam skenario peta jalan bisnis haji dan umrah. Kenapa? Haji dan umroh sebagai  “wisata religi” tidak  ada matinya. Tiap tahun jumlahnya makin besar, seiring dengan makin bertambahnya umat Islam di Indonesia.

Tiap tahun jamaah haji dan umrah dari Indonesia mencapai 1,5 juta orang lebih, terdiri dari 220.000 ribu jamaah haji dan 1,3 juta jamaah umrah. Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, terdapat banyak potensi bisnis yang bisa menciptakan keuntungan ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Sebagai contoh adalah pemenuhan kebutuhan pangan jemaah.

Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), pemenuhan kebutuhan pangan jamaah haji mencapai lebih dari Rp 800 miliar per tahun. Anggaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi jamaah yang mencapai 11 juta boks dalam satu periode haji. Potensi keuntungan ekonomi itu akan berlipat jika memasukkan kebutuhan untuk para jamaah umrah di luar momen ibadah haji.

Berdasarkan data Kemenag, kebutuhan konsumsi untuk jamaah umrah Indonesia setiap tahunnya lebih dari Rp 2 triliun sehingga jika diakumulasi dengan kebutuhan jamaah haji, permintaan pemenuhan kebutuhan pangan jamaah haji dan umrah mencapai Rp 3 triliun.

Potensi keuntungan ekonomi ibadah haji dan umrah akan semakin besar seiring dengan visi KSA tahun 2030 yang akan menambah kuota jamaah haji dan umrah untuk seluruh dunia menjadi 30 juta per tahun. Jumlah ini meningkat 200 persen dibanding jumlah saat ini. Jika merujuk pada visi 2030 Kerajaan Arab Saudi itu, Indonesia juga berpeluang untuk meningkatkan jumlah jamaah haji dan umrahnya sebesar 200 persen.

Dengan penambahan itu, kebutuhan pangan untuk jamaah haji dan umrah saja pada tahun 2030 akan berlipat menjadi lebih dari Rp 6 triliun. Itu merupakan peluang ekonomi luar biasa besar yang dapat dimanfaatkan para pelaku ekonomi di dalam negeri. Multiplier effectnya terhadap penyerapan tenaga kerja, pengembangan UMKM (usaha mikro kecil menengah), dan industri makanan dan minuman sangat besar.   

Selama ini, dalam memanfaatkan ekonomi haji, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan KSA. Harian Al-Yaum mencatat, potensi ekonomi haji yang diperoleh KSA tahun 2020 mencapai 47 miliar real (Rp 188 triliun). Pada tahun 2014, tercatat KSA meraup sekitar Rp 98,8 triliun dari sektor haji dan umrah. Jamaah haji dan umrah Indonesia, menyumbang 18 persen dari pendapatan sektor haji dan umroh KSA.

Berdasarkan catatan Al-Yaum, jamaah haji dan umrah, membelanjakan 63 persen uangnya di Saudi. Sedangkan 36 persennya di dalam negeri mereka. Padahal, kalau mau --  tentu dengan strategi ekonomi yang baik –- persentase pengeluaran biaya jamaah haji Indonesia di dalam negeri bisa ditingkatkan.

Di Pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Klewer Solo, misalnya, pasar “oleh-oleh” jamaah haji perlu diperluas. Pasar oleh-oleh ini penting karena umumnya jamaah haji Indonesia membelinya di Saudi Arabia. Celakanya, banyak oleh-oleh atau buah tangan tersebut, kalau di Makkah atau Madinah, made in China, Bangladesh, atau Egypt (Mesir). Kalau dibuat di Indonesia, tentunya akan menambah “kue ekonomi” haji di dalam negeri karena made in Indonesia.

Dari perspektif ekonomi, masih banyak peluang Indonesia untuk memperoleh “efek cuan” dari haji dan umrah. Dalam hal ini, pinjam istilah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, H. Sandiaga Salahuddin  Uno --  hendaknya wisata religi yang potensinya sangat besar di Indonesia –- bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi nasional. Salah satunya adalah haji dan umrah. Haji dan umrah, bukan sekadar ibadah penting bagi umat Islam, tapi juga potensi penting untuk membangun ekonomi umat.

 

Jakarta, 28 Juni 2023



*) Ketua Fraksi PPP DPR RI

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.