Redupnya Adidaya Paman Sam
Amir Uskara. (foto: dpr.go.id/liputan6.com) |
Oleh Dr. H.M. Amir Uskara *)
Jika saat ini Anda jalan-jalan ke kota New York, San Fransisco, Los Angeles, dan kota-kota besar Amerika Serikat (AS) lainnya, terlihat betapa banyaknya pengemis dan tunawisma. Mereka hidup di tenda-tenda darurat dan mengandalkan biaya hidup dari santunan lembaga sosial dan mengemis dari orang-orang yang lewat di dekat mereka.
Menyedihkan. Kondisinya sudah nyaris seperti pemandangan di New Delhi, India. Atau Dacca, Bangladesh. Tunawisma dan pengemis ada di mana-mana. Pemerintah Amerika nyaris angkat tangan. Tak mampu mengatasi problem kemiskinan mereka.
Kondisi di atas, jauh dibandingkan dengan Beijing atau Shanghai, Cina. Di kota-kota besar Cina, jarang kita temui tunawisma dan pengemis. Kalau pun ada hanya "nyempil" di pinggiran kota. Jumlahnya pun sedikit. Jauh berbeda dengan kondisi di negeri adidaya, Amerika.
Di Negeri Paman Sam, jumlah tuna wisma dan pengemis, sangat banyak. Di Kota New York saja, akhir tahun 2022, tercatat 67.150 orang pengemis dan tunawisma. Sampai Maret 2023, jumlahnya bertambah menjadi 80.000 orang. Begitu pula di kota-kota besar lain di AS. Jumlah pengemis dan tunawisma makin banyak dari hari ke hari.
Kenapa semua itu terjadi? Jawaban paling tepat, karena ekonomi Amerika mengalami kemunduran. AS kini tidak lagi menjadi adidaya ekonomi. Tapi sudah redup. Tertinggal oleh Cina yang terus bergerak maju.
Bagaimana terpuruknya ekonomi Amerika, awalnya terlihat dari kegagalan menangani pandemi Covid-19 pada tahun 2021-2022 lalu. Amerika adalah negara dengan jumlah kematian terbesar akibat pandemi. Tercatat, jumlah korban tewas akibat pandemi 1.000.050 orang dari jumlah penduduk 315 juta jiwa. Ini jumlah yang amat besar dibandingkan dengan Cina, yang penduduknya 1,41 miliar jiwa, di mana korban tewas akibat pandemi Covid-19 hanya 60.000 jiwa.
Dari gambaran di atas, jelas Cina jauh lebih berhasil dalam menangani pandemi Covid-19. Bandingannya, rakyat AS yang tewas akibat pandemi Covid-19 mencapai 0.317 persen dari populasi. Sedangkan Cina hanya 0.0042 persen. Ini artinya persentase kematian akibat pandemi Covid-19 di Amerika 75 kali lebih banyak dari Cina. Fakta tersebut menggambarkan, dari aspek kesehatan dan keamanan menghadapi gelombang pandemi Covid-19 otoritas Cina jauh lebih baik dari otoritas Amerika.
Keberhasilan menangani pandemi Covid-19 bisa menjadi gambaran keberhasilan suatu negara dalam menghadapi persoalan ekonomi. Kita tahu seluruh dunia mengalami kemandegan ekonomi saat pandemi berlangsung, antara tahun 2021-2022. Cina, misalnya, menerapkan kebijakan lockdown pada kota-kota besarnya sehingga praktis ekonomi mandeg. AS juga melakukan hal yang sama meski tidak seketat lockdown di Cina.
Dua negeri raksasa ini, selama pandemi melakukan "kebijakan" yang relatif sama. Tapi begitu, pandemi selesai, otoritas Cina kembali berlari mengejar ketertinggalan ekonominya dan berhasil. Sedangkan AS melakukan hal yang sama. Tapi tidak berhasil. Ini terjadi karena "ekonomi" Amerika yang kapitalis liberal sulit dikonsolidasikan pemerintah. Sedangkan Cina yang kapitalis "terkendali" mudah dikonsolidasikan rejim. Dampaknya, Cina bisa berlari dengan cepat mengejar ketertinggalan ekonominya.
Amerika pasca-pandemi, terbukti menghadapi inflasi yang tinggi. Maret 2023 lalu, misalnya, inflasi ekonomi di AS mencapai 8,56 persen. Pada bulan April, inflasi hanya turun sedikit, menjadi 8,3 persen. Ini inflasi yang tinggi di Amerika. Inflasi ini jelas memperkecil nilai dolar AS. Artinya kekayaan rakyat Amerika pun tergerus. Kenapa terjadi?
Penyebabnya, di masa pandemi pemerintah mencetak dolar besar-besaran untuk mendanai bantuan sosial di masa pandemi. Semacam bantuan langsung tunai (BLT) di Indonesia. Akibatnya terjadi inflasi. Tapi celakanya, rakyat Amerika jadi pemalas. Rakyat miskin yang mendapat santunan di era pandemi, bukannya makin berkurang setelah wabah corona menghilang. Tapi justru makin banyak. Selama pandemi banyak perusahaan bangkrut. Pengangguran makin besar. Investasi yang masuk ke AS berkurang.
Memang kondisinya agak unik. Di satu sisi peredaran uang banyak sekali dari hasil cetak uang selama pandemi. Dampaknya inflasi tinggi. Di sisi lain, investasi dari luar negeri seret. Artinya roda ekonomi berjalan lambat. Inflasi tinggi menyebabkan modal atau investasi yang masuk ke AS rendah.
Bagaimana solusinya? The FED (bank sentral AS) menaikkan suku bunga tinggi. Harapannya nilai dolar menguat dan modal asing kembali masuk ke AS untuk memutar roda bisnis. Dengan demikian pengangguran akan berkurang.
Tapi apa yang terjadi? Banyak bank kolaps. Simpanan surat berharga jangka panjang yang bunganya rendah di perbankan AS ditarik oleh investor untuk ditempatkan kembali di bank-bank yang memberi bunga tinggi. Dengan kenaikan suku bunga yang di-drive The FED, banyak bank yang aset besarnya di surat-surat berharga rontok. Karena asetnya ditarik oleh investor secara besar-besaran (bank run).
Kebijakan The FED tersebut mengakibatkan banyak bank besar terguncang. Salah satunya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank. Bangkrutnya SVB -- bank terbesar ke-16 di AS -- ternyata berefek domino. Tercatat lebih dari 32 perbankan nasional di Amerika koleps terdampak ambruknya SVB. Efek domino kebangkrutan SVB juga merambat ke Eropa. Bank terbesar di Swiss (Suisse Credit) nyaris bangkrut. Juga Deutsche Bank, bank terbesar di Jerman, kelojotan.
Tampaknya otoritas keuangan Amerika sangat takut terhadap hiperinflasi. Tapi penanganannya berlebihan. The FED menaikkan suku bunga bertubi-tubi sehingga mengguncang perbankan AS yang menyimpan saham atau surat berharga jangka panjang berbunga rendah.
Krisis ekonomi akibat bangkrutnya sejumlah perbankan, diperparah lagi dengan defisit neraca perdagangan. Mitra dagang terbesar Amerika saat ini adalah Cina. Tiap tahun defisit perdagangan Amerika terhadap Cina sangat besar.
Biro Statistik AS mencatat, defisit perdagangan Cina-AS tahun 2021 di masa pandemi sebesar 355,3 miliar dolar. Sebelumnya, tahun 2020 di awal pandemi, defisit 310,3 miliar dolar AS. Bahkan di tahun 2018, defisit perdagangan tersebut, mencapai 418,2 miliar dolar AS.
Ini artinya di masa pandemi defisit perdagangan antara Cina dan Amerika tetap terjadi, meski Cina menerapkan kebijakan lockdown sangat ketat. Dari gambaran ini bisa disimpulkan, dalam percaturan ekonomi, Amerika sudah loyo menghadapi Cina.
Kita lihat ke belakang. Pada tahun 1970, Biro Statistik AS mencatat GDP Cina hanya 11 persen dari GDP Amerika. Saat itu, Cina adalah negara miskin. Tapi sekarang, tahun 2022, sejak Cina menerapkan kebijakan perdagangan bebas terkendali, GDP Cina sudah 76 persen dari Amerika. Bahkan menurut perhitungan The Economist dan Financisl Times, saat ini, GDP Cina telah melampaui Amerika. Elon Musk, CEO Tesla dan XSpace, memperkirakan GDP Cina sudah hampir dua kali lipat dari AS. Ini artinya, besaran ekonomi Cina sudah jauh melampaui Amerika.
Betul income perkapita Cina masih lebih rendah dari AS karena populasi Cina empat kali lipat lebih banyak. Karena itu, kata Elon Musk, jika income perkapita penduduk Cina setengah dari penduduk AS saja, kekayaan Paman Deng sudah dua kali lipat dari Paman Sam.
Secara sinis, Elon Musk mengingatkan, AS jangan pernah menyingkirkan Cina. Karena pembeli terbesar produk AS adalah Cina. Jika Cina memboikot produk AS, Paman Sam akan kolps. Kini, Elon Musk, raja mobil listrik dunia, tengah membangun pabrik batere raksasa di Cina untuk menghadapi booming permintaaN mobil setrum tersebut. Sedangkan Cina tengah membangun pabrik chips raksasa untuk kebutuhan industri mobil listrik dan elektronika yang berkembang pesat di dunia.
Industri di Cina, diprediksi Financial Times akan lebih berkembang dari Amerika. Hal ini terjadi, tulis Financial Times, karena ekonomi AS berbasis industri militer. Sedangkan Cina berbasis pertanian dan manufaktur. Basis ekonomi tersebut berpengaruh pada kebijakan militer dan luar negeri kedua negara.
Cina lebih mengusung diplomasi persahabatan untuk memasarkan produk pertanian dan manufakturnya. Amerika sebaliknya, mengusung diplomasi "peperangan" untuk menjual produk industri militernya.
Keberhasilan Cina mendamaikan konflik Iran dan Saudi Arabia, misalnya, merupakan kekalahan Amerika. Jika kedua negara kaya minyak yang selama ini bermusuhan berdamai, jelas kebutuhan persenjataannya akan berkurang. Sebaiknya, kebutuhan produk pertanian dan manufaktur akan meningkat. Cina yang diuntungkan.
Di Afrika, misalnya, kini makin banyak negeri yang berkiblat ke Cina. Bantuan Cina terhadap pembangunan ekonomi negara-negara Afrika seperti Ethiopia, Zambia, dan Gabon, telah berhasil meningkatkan ekonomi tiga negara tersebut.
Di pihak lain, industri militer Amerika -- kini tengah menjadi bumerang di dalam negeri. Industri senjata api, misalnya, kini tengah menimbulkan kekacauan di dalam negeri. Amerika adalah negeri yang insecure.
Fenomena aneh terjadi. Di tengah parahnya pandemi Covid-19, mata dagangan paling laris di AS justru senjata api. Bukan makanan untuk persediaan hidup. Rakyat Amerika sampai antre di toko-toko yang menjual senjata api. Mereka takut terhadap perampokan dan kebrutalan orang-orang miskin yang menjarah hartanya. Makanya, mereka pun siap dengan senjata.
Dewasa ini, pembunuhan dengan senjata api sangat banyak di Amerika. Korbannya orang-orang tak bersalah dan anak-anak sekolah. Koran Washington Post menulis, jumlah kematian akibat kepemilikan senjata api pada rakyat Amerika jauh lebih besar dari peperangan yang melibatkan Amerika dalam satu abad terakhir.
Jumlah orang Amerika yang tewas akibat perang dunia pertama dan kedua serta sejumlah peperangan lain hanya mencapai 1,3 juta orang. Sedangkan yang tewas akibat kepemilikan bebas senjata api pada rakyat Amerika, mencapai 1,5 juta orang.
Dari gambaran di atas, kita bisa melihat, Paman Sam sebagai negara adidaya mulai redup. Sedangkan Paman Deng sedang bangkit. Cepat atau lambat era superpower Paman Sam akan berakhir. Gantinya Paman Deng.
Sejak sekarang kebijakan ekonomi dan luar negeri Indonesia harus mulai melakukan penyesuaian ke arah sana. Hukum alam menyatakan, dunia terus berubah. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Ya. Sejarah telah mencatat, negara adidaya dari abad ke abad datang silih berganti. Bukan tidak mungkin suatu ketika, Indonesia pun akan menjadi negeri adidaya. Asalkan semua syaratnya terpenuhi. Kerja keras, disiplin, antikorupsi, berpikir maju, dan kualitas pendidikan ditingkatkan. Semoga!
Jakarta, 16 April 2023
*) Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP/Ekonom
Post a Comment