PSSI, NIVB, dan Piala Dunia U-20

Syaefudin Simon. (foto: dok pri)

Oleh Syaefudin Simon *)


Sepak bola adalah olahraga favorit pejuang kemerdekaan. Banyak para pendiri bangsa yang terlibat dalam perumusan Pancasila merupakan penggemar dan pemain sepak bola.  Bung Karno, misalnya, adalah penggemar sepak bola. Sedangkan Bung Hatta, tidak hanya penggemar, tapi juga pemain bola.

Tokoh pejuang kemerdekaan lain yang menjadikan sepak bola sebagai olahraga favoritnya, dalam sejarah tercatat: Tan Malaka, Sutomo, Muhammad Husni Thamrin, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Yamin. Nama tokoh kemerdekaan terakhir ini bahkan diabadikan dalam Stadion Olahraga Muhammad Yamin di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sepak bola adalah olahraga yang tidak hanya digemari rakyat kecil dan terpencil seperti di pelosok Papua, tapi juga digemari tokoh-tokoh besar perjuangan kemerdekaan di Pulau Jawa, yang saat itu menjadi pusat pergerakan nasional untuk mewujudkan NKRI.  

Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang didirikan di Yogyakarta 19 April 1930 (di mana ketua umum pertamanya Ir. Soeratin) tercatat sebagai organisasi pertama Indonesia yang berani mengusung kata azimat “Persatuan Seluruh Indonesia”.  Kalimat azimat yang ada dalam PSSI ini kemudian menjadi kata perjuangan untuk  organisasi lain dalam  menggelorakan slogan Persatuan Seluruh Indonesia. Dengan demikian, sepak bola bukan sekadar olahraga bal-balan, tapi juga sarana untuk menumbuhkan nasionalisme.

PSSI, misalnya, melibatkan Bung Karno dalam kegiatan sepak bola setelah Sang Proklamator keluar dari penjara Sukamiskin, 31 Desember 1931. Menyambut pembebasan pemimpin bangsa tersebut, Bung Karno mendapatkan kehormatan dari PSSI untuk “membuka” pertandingan di final kompetisi kedua PSSI di Jakarta pada tahun 1932.

Bung Hatta juga seorang pemain sepak bola yang andal dan tercatat pernah menjadi anggota klub sepak bola di Bandung. Pada tahun 1935, M. Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul, sebuah daerah di Papua yang dekat dengan Papua New Guinea (PNG). Pada tahun 1936 kedua tokoh itu akan dipindah ke Pulau Banda Neira, Kepulauan Maluku. Untuk itu, pada 1 Februari 1936, tokoh-tokoh perjuangan di Boven Digul mengadakan pertandingan sepak bola untuk melepas kepindahan kedua tokoh tadi  ke Maluku.

Tokoh sepak bola lain yang terlibat dalam perumusan dasar negara Pancasila di sidang BPUPKI adalah Liem Koen Hian. Dalam Sidang BPUPKI, tokoh Tionghoa ini selalu menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam dunia sepak bola, Liem Koen Hian adalah tokoh penting di balik pemboikotan kompetisi besar pertandingan sepak bola Belanda di Surabaya.

Pada 13-16 Mei 1932, Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), Induk Organisasi Sepak bola Belanda, mengadakan pertandingan sepak bola seluruh Hindia Belanda di Surabaya untuk memperebutkan Piala Kampiun Nederlansch Indie atau Juara Hindia Belanda. Untuk mengadakan acara besar yang dikenal dengan stendenwedsrijden (pertandingan antarkota), NIVB harus mengeluarkan dana yang besar. Dana itu untuk akomodasi dan konsumsi klub-klub yang menjadi peserta. Biayanya cukup besar. Tapi
NIVB yakin biaya tersebut akan tertutupi oleh karcis masuk. Arek-arek Suroboyo yang terkenal “gila bola”  -- pikir Belanda --  akan membeli habis karcis yang disediakan NIVB. Sehingga panitia tidak akan merugi, bahkan akan untung besar.

Harapan NIVB, biaya kompetisi sepak bola Hindia Belanda itu tertutupi karcis masuk, ternyata gagal. Ini karena panitia kompetisi melakukan kesalahan besar: melarang media Tionghoa dan Jawa untuk melakukan liputan. Padahal media Tionghoa dan Jawa  pembacanya  sangat banyak di Surabaya.

Ceritanya, bermula dari seruan Bekker (wartawan koran olahraga mingguan d’Orient yang juga menjadi media resmi dari Kejuaraan Hindia Belanda) melarang media Tionghoa dan Jawa untuk meliput karena sering menjelek-jelekkan NIVB, sehingga jika diundang akan tetap menjelek-jelekkan suasana pertandingan kompetisi. Bekker sendiri dalam NIVB menjabat sebagai Komisi Hubungan Media. Pimpinan redaksi dari d’Orient adalah A. Zimmerman, seorang Belanda totok militan antipribumi dan anti kaum nasionalis.

Melihat suasana seperti itu, tokoh Tionghoa yang sangat nasionalis, Liem Koen Hian, melalui korannya Sin Tit Po menyatakan boikot terhadap pertandingan NIVB. Seluruh warga Surabaya baik yang berasal dari Suku Jawa, Madura, Arab, Tionghoa, India, dan lain-lain mendukung seruan itu. Semuanya berbulat tekad menyatakan: “boikot” terhadap kompetisi Hindia Belanda yang diselenggarakan NIVB.

Sejarah mencatat, saat itu para wartawan di Surabaya kompak dan sepakat untuk tidak “jok sampek nulis beritane bal-balane NIVB”. Maksudnya, “jangan sampai menulis pertandingan sepak bola Belanda”.

Warga Surabaya dari berbagai etnik juga membuat pamflet yang isinya beragam. Ada yang membuat pamflet berbunyi: “Masyarakat Surabaya Menolak Stendenwedsrijden”. Ada juga yang menulis: “Agar masyarakat Surabaya tidak menonton pertandingan sepak bola yang diprakarsai oleh Comite van Actie”. Pamflet itu tidak hanya ditulis besar-besar, melainkan juga ditulis dalam kertas kecil, lalu digandakan dan ditempel di gang-gang sempit seantero Surabaya.

Belanda mengerahkan petugas-petugas kepolisian untuk mencopot dan merobek-robek pamflet yang beredar dan menempel di semua sudut Kota Surabaya. Di beberapa tempat, pemuda Surabaya bersama pemuda Tionghoa dan Arab, melawan aparat kepolisian yang akan mencopot pamflet. Banyak arek-arek Suroboyo nekat melawan petugas yang mencopot pamflet. Pojok-pojok kota yang pamfletnya dicopot polisi Belanda di sang hari, malamnya ditempel lagi dengan pampflet yang sama.

Tak hanya itu. Agar warga Surabaya mendapatkan hiburan pertandingan sepak bola, sebagaimana ditawarkan NIVB, tokoh-tokoh pergerakan nasional di Surabaya dari berbagai etnis, sepakat untuk mengadakan pertandingan yang sama, yaitu kompetisi nasional antarklub di Surabaya.  

NIVB menggelar partai final pada 13 Mei 1932. Warga Surabaya di tanggal yang sama menyelenggarakan pertandingan serupa,  antar klub sepak bola Surabaya. Timnya,  Indonesia Marine (klub sepak bola Tionghoa) melawan Arabisch XI (klub sepak bola suku Arab). Keduanya dari Surabaya.

Untuk memeriahkan suasana, sebelum pertandingan sepak bola yang sesungguhnya digelar, tokoh-tokoh Surabaya dari Jawa, Batak, Tionghoa, dan Arab yang sudah berusia baya (setengah tua) – umumnya kerja di kantoran seperti di bank, kereta api, wartawan, guru, dan lain-lain -- mengadakan pertandingan sepak bola dagelan.

Tim pertama, dari kelompok usia baya, pemain bolanya tercatat Lim Koen Hian (Tionghoa, Koran Sin Tit Po), Gondoekoesoemo (Jawa, bankir), Radjamin Nasution (Batak, kelak menjadi Walikota Surabaya ke-9), Oemar Hubisj (Arab, Al-Irsyad), Muhamad Alkaff (Arab, Indo Arabisch Verbond), H.H. Ong (Tionghoa, Lid Gemeenteraad), dan lain-lain. Tim kedua lawan tim pertama, terdiri atas warga Surabaya biasa yang beretnis Tionghoa dan Arab. Mereka digabung dalam satu kesebelasan.

Mendapat kabar yang menarik, masyarakat Surabaya di Tunjungan, Kembang Jepun, Embong Malang, dan lain-lain sangat antusias ingin menyaksikan pertandingan sepak bola dagelan dan kompetisi nasional tersebut. Mereka menyebarkan berita itu dari mulut ke mulut. Hasilnya, perhelatan besar kompetisi nasional di Stadion Tambaksari untuk menyaingi kompetisi NIVB  sukses besar. Penontonnya banyak sekali.

Di pihak lain, pertandingan yang diadakan NIVB menjadi sepi. Penontonnya sedikit sekali. Pemboikotan yang digagas Liem Koen Hian dari koran Sin Tit Po berhasil. Belanda pun marah. Karena kalah meriah.

Bagi Belanda, pemboikotan itu merupakan pukulan keras, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, rakyat sadar bahwa jika mereka bersatu, mereka bisa mengalahkan kekuatan besar seperti Belanda. Secara ekonomi, Belanda merugi sampai 20.000 gulden. Uang sebanyak itu pada tahun 1932, bisa untuk membangun sebuah stadion olahraga. Kerugian yang diderita Belanda sangat besar.

Dunia sepak bola Indonesia, dari tahun ke tahun terus berkembang. Pada tahun 2023, Indonesia terpilih sebagai tempat pertandingan besar tingkat dunia – World Cup U-20 (Piala Dunia U-20). Sayang, Word Cup U-20 ini akhirnya gagal terselenggara. FIFA – organisasi sepak bola internasional yang menentukan event internasional tersebut – membatalkan penyelenggaraan World Cup U-20 itu di Indonesia. Faktor keberadaan timnas Israel di World Cup U-20 Indonesia yang ditolak berbagai elemen pemerintah daerah dan masyarakat menjadi penyebabnya.

Akhirnya, kita tahu, sulit meniadakan hubungan antara sepak bola dan politik di Indonesia. Sejarah kompetisi Hindia Belanda di Surabaya tahun 1932 menjadi contoh, betapa politik mempermalukan kompetisi NIVB di Surabaya. Belanda marah. NIVB pun rugi.

Jika di tahun 1932, kaum nasionalis (PSSI) menang secara politik dan ekonomi menyaingi kompetisi Hindia Belanda di Surabaya, sekarang posisinya terbalik. Kaum nasionalis kalah melawan FIFA, yang telah menetapkan Israel sebagai tim yang lolos dalam kualifikasi Word Cup U-20.  

Indonesia pun gagal jadi tuan rumah perhelatan akbar sepak bola internasional itu karena menolak kehadiran timnas Israel. Akibatnya, Pemerintah Indonesia dan kaum nasionalis tertampar, dipermalukan, dan dirugikan secara politik dan ekonomi akibat kebijakan “politisi” yang blunder itu.

Ingat, tahun 1932 sangat berbeda dengan tahun 2023. Bangsa yang cerdas tidak akan memfosilkan sejarah. Tapi menjadikan sejarah sebagai pembelajaran untuk mencerdaskan bangsa. Catat, sejarah itu tidak diam. Tapi terus bergerak secara dinamis! Tafsir sejarah terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Demikian pula konstitusi. Seharusnya ditafsirkan secara dinamis. Mengikuti perkembangan zaman.


*) Kolumnis/Jurnalis Senior

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.