Jusuf Kalla: Bisa Hancur Masjid jika Dipakai untuk Politik Praktis
Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI), Jusuf Kalla (JK). (foto: setkab.go.id)
JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI), Jusuf Kalla (JK) menyatakan, masjid bakal "hancur" jika digunakan sebagai arena untuk politik praktis. Sebab, akan ada belasan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 yang berkampanye untuk saling memperebutkan suara jamaah.
"Kalau masjid itu boleh dipakai untuk politik, hancur masjid itu," kata JK di Kantor Pusat DMI, Jakarta Timur, seperti dikutip dari Republika, Kamis (13/4/2023).
Karena itu, parpol maupun kontestan pemilu dilarang berkampanye di masjid. Selain berkampanye, lanjut JK, politisi juga dilarang membagikan amplop kepada jamaah demi meraup suara. "Memberikan amplop, (bisa) dianggap itu kampanye terselubunglah."
JK pun menyoroti kasus Ketua DPP PDIP Said Abdullah yang ketahuan bagi-bagi amplop berlogo partai kepada jamaah masjid di Sumenep, Jawa Timur. Meski merupakan kampanye terselubung, kata JK, tapi Bawaslu menyatakan kasus pembagian amplop itu bukan pelanggaran.
JK pun mengaku memahami mengapa Bawaslu sampai pada kesimpulan tersebut, yakni karena masa kampanye belum dimulai. Sebab, UU Pemilu hanya melarang penggunaan tempat ibadah untuk politik praktis saat masa kampanye. "Sekarang belum masa kampanye. Jadi tidak berlaku itu (ketentuan masa kampanye)."
Karena itu, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 RI itu khawatir politisi lain ikut-ikutan memanfaatkan celah hukum tersebut. “Ini orang bisa mengikuti celah-celah. Hukum mah begitu, ada celah-celah orang bisa masuk," ujarnya.
Bawaslu RI pada Kamis (6/4/2023) menyampaikan hasil penyelidikan atas kasus pembagian amplop berlogo PDIP dengan isi uang tunai Rp 300 ribu kepada jamaah di masjid di Sumenep. Bawaslu menyebut peristiwa itu terjadi di tiga masjid seusai Shalat Tarawih pada 24 Maret 2023. Uang berasal dari Ketua DPP PDIP Said Abdullah.
Kendati begitu, Bawaslu RI memutuskan bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran ketentuan politik uang, tidak pula pelanggaran berpolitik di tempat ibadah, dan juga bukan pelanggaran aturan sosialisasi.
Bawaslu menyatakan, kasus tersebut bukan pelanggaran politik uang dan berpolitik di tempat ibadah karena UU Pemilu hanya melarang kedua hal tersebut saat masa kampanye. Bukan pelanggaran masa sosialisasi karena Bawaslu menilai Said melakukan hal itu secara pribadi, bukan atas keputusan PDIP. Adapun ketentuan sosialisasi hanya bisa menjerat partai politik.
(dpy)
Post a Comment