Gender Friendly God?

Shamsi Ali. (foto: net/rmol.id)

Oleh Shamsi Ali *)

Baru-baru ini viral di media sosial dan perdebatan hangat perihal jenis kelamin (gender) Tuhan. Konon kabarnya dalam pertemuan gereja-gereja di Inggris ada yang mengusulkan agar panggilan Tuhan sebagai “he” diganti karena dianggap tidak “friendly” kepada kelompok manusia yang berjenis kelamin lainnya.

Kata “jenis kelamin lainnya” tersebut tentu bukan hanya jenis kelamin “she” (feminine). Tapi juga jenis kelamin lainnya, temasuk gay, lesbian, dan juga apa yang dikenal dengan “transgender” atau manusia yang “laa haaulaa wa laa haaulaa” (tidak mereka dan tidak juga mereka). Artinya mereka yang bisa mengaku keduanya, laki dan perempuan sekaligus.

Realita ini kemudian memaksa mereka untuk tidak memakai “he” atau “she”. Dan karenanya demi pengakuan kepada semua jenis kelamin yang diakui atau pun tidak diakui mereka cenderung memakai kata “they” (mereka).

Masalahnya kemudian menghubungkan Tuhan dengan kata “they” (mereka) menjadi dilema besar. Pertama, membatalkan pengakuan bahwa keimanan mereka kepada Tuhan masuk dalam kategori “monoteisme”. Kedua, seolah mengkonfirmasi bahwa monoteisme yang lurus (benar dan konsisten) memang ada pada ajaran Islam.

Pada sisi lain boleh jadi bahwa kecenderungan pemanggilan Tuhan dengan “they” merupakan pengakuan bahwa trinitas itu memang merupakan bentuk pengakuan kepada tiga Tuhan. Bukan seperti yang selama ini yang didengung-dengungkan bahwa Tuhan itu satu tapi dalam tiga entitas.

Saya tidak bermaksud mendiskusikan hal ini secara detail. Justru yang ingin saya tekankan kali ini adalah adanya ancaman nyata konsep kehidupan yang antitesis dengan ajaran dan nilai-nilai keagamaan dunia. Salah satunya isu gender di mana pemahaman keagamaan tentang konsep dan nilai kehidupan terpaksa terpinggirkan oleh konsep-konsep non-religi, bahkan anti agama.

Propaganda lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan lainnya (LGBTQ+) memang begitu dahsyat. Hampir dalam segala lini kehidupan itu ada. Jangankan dalam film-film, bahkan game dan mainan anak, hingga ke buku-buku referensi di sekolah-sekolah sedang digalakkan promosi LGBTQ itu. Bahkan dalam kompetisi politik sekalipun isu LGBTQ menjadi isu sentral. Kandidat yang dianggap yang tidak mendukung (walau tidak anti) LGBTQ akan dilabel sebagai kandidat yang anti-kebebasan dan HAM.

Pengaruh LGBTQ ini kemudian menembus ke dalam kehidupan keagamaan. Dan pada akhirnya beberapa rumah ibadah terpaksa melabel diri sebagai LGBTQ friendly house of worship. Bahkan saya tahu beberapa gereja di New York yang secara khusus menyediakan “pelayanan ibadah” (service) khusus bagi kaum LGBTQ ini.

Lebih menyedihkan lagi bahkan saya dengar ada segelintir masjid-masjid di Eropa yang juga dikenal sebagai masjid terbuka (open space) dengan mengakomodasi mereka yang menganggap diri sebagai bagian dari kaum ini.

Pada akhirnya pertanyaan mendasar sesungguhnya apa dan bagaimana pemeluk agama memahami agamanya? Apakah agama itu adalah konsep kehidupan yang sesungguhnya bertengger atau menumpang pada konsep kehidupan manusia yang berubah-rubah seiring waktu, zaman, bahkan hawa nafsu manusia? Atau agama sejatinya hadir untuk memastikan jika perubahan itu tetap berada dalam batas kefitrahan dan “maslahah” (kebaikan) bagi manusia?

Di sìnilah urgensi memahami agama dengan pemahaman yang lurus, murni, jujur, sesuai, dan berkeadilan. Agama itu petunjuk dan kurikulum hidup. Dengan agama manusia dapat memastikan bahwa planning atau perencanaan dan jalan hidupnya tidak kebablasan dan menginjak-nginjak martabat, kemuliaan, dan kefitrahannya sebagai makhuk terbaik dan termulia Tuhan.

Sekali lagi, kasus usulan pemanggilan Tuhan dengan “they” di pertemuan gereja-gereja di Inggris itu menunjukkan bahwa memang kebenaran itu memerlukan komitmen
konsistensi (istiqamah). Karenanya wajar ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ajarkan kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada selain engkau”. Beliau menjawab: “katakan saya beriman dan konsistenlah” (hadits).

Bagi kita umat Islam, dengan segala kesiapan membuka wawasan dan cakrawala untuk menggali semua potensi dari kehidupan ini, kita akan konsisten dengan: “Kebenaran itu dari Tuhanmu. Karenanya jangan sekali-sekali termasuk orang-orang yang meragukan”.

“Al-Haqqu wuha Al-Islamu wa Al-Islamu huwa Al-Haqq”. Yakin!

NYC Subway, Amerika Serikat, 16 Februari 2023 

 

*) Presiden Nusantara Foundation

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.