Rupiah Terus Melemah, Hampir Tembus Rp 16 Ribu Per Dolar AS

Mata uang rupiah. (foto: pixabay)

JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis (3/11/2022) petang masih terus melemah tertekan oleh sikap bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed), yang lebih hawkish. Hawkish biasa muncul sebagai respons untuk menggambarkan kebijakan moneter yang cenderung kontraktif. 

 

Rupiah ditutup melemah 48 poin atau 0,31 persen ke posisi Rp 15.695 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 15.647 per dolar AS.

"Pelemahan rupiah disebabkan oleh penguatan dolar AS dengan kenaikan pada imbal hasil obligasi AS pasca-The Fed yang lebih hawkish pada pertemuan FOMC semalam. Imbal hasil obligasi AS dua tahun melonjak mencapai rekor tertinggi dalam 15 tahun," kata analis DCFX Futures Lukman Leong seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (3/11/2022).

Rupiah pada Kamis pagi hari dibuka melemah ke posisi Rp 15.655 per dolar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp 15.655 per dolar AS hingga Rp 15.699 per dolar AS.

Sementara itu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis melemah ke posisi Rp 15.681 per dolar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp 15.652 per dolar AS.

Namun demikian, Pemerintah RI menyebut nilai tukar rupiah lebih baik dibandingkan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang. Tercatat per Oktober 2022 nilai tukar rupiah terdepresiasi 8,62 persen secara tahunan.

Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani mengatakan, depresiasi rupiah relatif lebih baik jika dibandingkan di India, Thailand, dan Malaysia. “Hal ini masih relatif lebih baik dibandingkan depresiasi sejumlah mata uang di sejumlah negara berkembang,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers virtual, Kamis (3/11/2022).

Sri Mulyani merinci rupee India mengalami depresiasi 10,2 persen, ringgit Malaysia  mengalami depresiasi 11,8 persen, dan bath Thailand di 12,23 persen. Hal ini menunjukan depresiasi rupiah lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. “Hal tersebut konsisten dengan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang masih tetap positif,” ucapnya.

Menurut Sri Mulyani, tren depresiasi nilai tukar yang terjadi di negara-negara berkembang dipicu oleh menguatnya dolar AS akibat adanya kebijakan moneter yang diadopsi Federal Reserve atau The Fed.  "Serta meningkatnya ketidakpastian keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif terutama di Amerika Serikat,” jelasnya.


(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.