Ketika Parpol Merampok Hak Demokrasi
Shamsi Ali (foto: tangkapan layar youtube/trans7)
Oleh Shamsi Ali *)
Dalam dunia demokrasi warga negara (citizen/people) menjadi rujukan kekuasaan. Tentu dalam spirit Islam, Tuhanlah sebagai penguasa masyarakat (people) yang menjadi rujukan tertinggi. Sehingga harapannya “the people” (masyarakat atau warga) dalam visi Islam harus sadar Tuhan.
Hanya dengan demikan masyarakat dapat dikategorikan sebagai “Wakil Tuhan” di bumi. Tapi terlepas dari idealisme demokrasi yang berketuhanan (dengan spirit Islam) itu memang dalam konsep demokrasi masyarakatlah yang sesungguhnya menjadi rujukan kekuasaan. Istilah klasiknya: by the people and for the people (dari/oleh dan untuk masyarakat).
Yang menjadi masalah memang sebagaimana sistem perpolitikan yang lain, termasuk yang berbasis agama sekalipun, kerapkali sistem dipermainkan oleh ragam tendensi oleh mereka yang punya kepentingan tertentu. Sehingga idealisme demokrasi kerap dirampok dan terdegradasi ke titik terendah.
Berbagai upaya dilakukan atau dimanipulasi untuk melemahkan nilai demokrasi. Dan lebih jahat lagi bahwa semua dilakukan juga atas nama demokrasi. Sehingga berbagai kejahatan dan manipulasi itu seolah “justified” (dibenarkan) secara konstitusional. Pada akhirnya melahirkan apa yang pernah saya sebut “constitutionalized crime” (kejahatan yang bisa dibenarkan secara hukum).
Fakta ini mengingatkan saya tentang suatu hal yang Dr Anies Baswedan sampaikan di acara KAHMI, tiga hari lalu. Beliau menyampaikan bahwa kebijakan publik itu perlu etika dan inovasi. Karena tanpa etika akan ada kebijakan-kebijakan publik yang mungkin saja secara hukum benar, tapi secara etika dan moral menginjak-nginjak kebenaran dan hati nurani.
Partai Politik dan Demokrasi
Partai-partai politik (parpol) dalam tatanan demokrasi sesungguhnya sekadar menjadi jembatan bagi ekspresi kedaulatan pemangku kekuasaan tertinggi (rakyat). Karenanya di negara-negara maju, Amerika Serikat misalnya, petinggi-petinggi partai politik tidak memiliki peranan yang menentukan. Hampir chairperson (ketua) dari dua partai besar Amerika (Demokrat dan Republican) tidak dikenal.
Hal ini sangat berbeda dengan banyak negara, termasuk Indonesia. Di mana partai-partai politik, bahkan petinggi-petinggi partailah yang lebih dominan dalam menentukan arah perjalanan demokrasi dan kebijakan publik. Akibatnya petinggi negara yang terpilih harus rela menjadi “pekerja politik” yang tidak jarang terkungkung oleh arah kemauan “bos” partai pengusung.
Salah satu dilema terbesar perpolitikan dan demokrasi di Indonesia adalah persyaratan seorang calon posisi publik, baik di eksekutif maupun di legislatif, yang secara dominan ditentukan oleh partai politik. Terlebih lagi posisi publik eksekutif, dari kepala daerah hingga ke kepala negara, juga ditentukan oleh partai politik. Bahkan lebih masalah lagi ketika pencalonan itu dengan persyaratan yang berat, minimal 20 persen dukungan suara dari partai politik.
Di Amerika Serikat, penyaringan calon dari masing-masing partai, waktu secara internal partai ada persyaratan-persyaratan untuk maju, tapi pada akhirnya ketentuan itu ada di tangan pemilih (rakyat). Sehingga proses pemilihan calon dari partai melibatkan pilihan rakyat. Bahkan jika calon tidak lolos dalam pemilihan (seleksi) pencalonan, yang bersangkutan sah saja maju sebagai calon independen jika memiliki dukungan (dalam bentuk petisi) dari masyarakat.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa idealisme demokrasi seringkali terculik oleh berbagai kepentingan. Salah satunya adalah kepentingan partai-partai politik. Seolah hak setiap warga negara terbatasi bahkan teramputasi oleh kepentingan partai politik. Hak untuk maju sebagai calon dan juga hak untuk menentukan siapa calon yang diinginkan oleh rakyat.
Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elite politik dan keuangan yang maha kuasa. Penentuan calon, baik di legislatif maupun eksekutif, bahkan yudikatif, ditentukan oleh kolaborasi kepentingan partai dan kepentingan uang (oligarki).
Jika ini terjadi maka negara dan rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi “slaves” (budak) kekuasaan yang tidak pernah berujung kepada harapan panjang mereka. Yaitu terujudnya “baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur”. Atau seperti yang dijanjikan oleh negara melalui pesan Pancasilanya: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kapankah perubahan itu akan terjadi? Entahlah!
Ci-Makassar, 28 November 2022
*) Putra Kajang asli
Post a Comment