Menkeu RI Sri Mulyani: Guncangan Ekonomi 2023 Semakin Kencang dan Besar

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. (foto: detik.com)

JAKARTA -- Pemerintah RI mewaspadai gelombang ekonomi dunia pada 2023. Hal ini mengingat dampak suku bunga Amerika Serikat (AS) yang memengaruhi indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi negara terbesar dunia seperti AS, negara-negara Eropa, dan Cina, menunjukkan tren pelemahan pada 2022 dan 2023. International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi dunia berada level 3,2 persen pada 2022 dan sebesar 2,7 persen pada 2023.

“Indonesia, kita masih diproyeksi oleh berbagai lembaga dunia cukup baik sekitar lima persen. Namun kita tidak boleh tidak waspada karena memang guncangan ekonomi sangat kencang dan sangat besar yang harus terus kita kelola dan waspadai secara baik,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN, Jumat (21/10/2022).

Menurut Sri Mulyani, saat ini kondisi Covid-19 semakin terkendali. Namun, di balik itu, harga komoditas global masih bergejolak dan penuh dengan ketidakpastian. "Kondisi Covid-19 faktor yang sangat memengaruhi dalam tiga tahun terakhir, kita melihat bahwa perkembangan dari pandemi semakin terkendali," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut beberapa negara seperti AS menyampaikan pandemi Covid-19 sudah berakhir. Hal ini suatu transisi yang cukup baik walaupun tentu harus tetap waspada muncul varian-varian baru. "Indonesia juga dalam posisi yang semakin bisa terkontrol. Seperti yang saya sampaikan pada periode sebelumnya, krisis atau risiko sekarang beralih dari pandemi ke risiko bidang ekonomi dan keuangan, terutama lingkungan global yang semakin bergejolak," jelasnya.

Sri Mulyani melanjutkan, harga komoditas masih bergejolak sangat tinggi. Dimulai dari harga gas yang naik turun sangat signifikan. Harga gas pernah kisaran 5,68 dolar AS per MMBtu, lalu sempat naik 9,40 per dolar AS MMBtu, dan turun kembali ke 6,44 dolar AS per MMBtu. Sementara harga batu bara masih bertahan sekitar 400 dolar AS per metric ton, meskipun sempat turun sedikit di bawah 400 dolar AS.

Selanjutnya, harga minyak juga mengalami penurunan dari harga 126 dolar AS per barel ke 90,8 dolar AS per barrel. Kemudian CPO juga mengalami penurunan yang cukup drastis dalam satu sampai 1,5 bulan terakhir, yaitu pernah dari 1.676 dolar AS per ton ke 720,5 dolar AS per ton dan naik lagi ke 817,1 dolar AS per ton.

Lalu harga gandum juga mengalami penurunan, dari 1.224 dolar AS per bushels menjadi 850,1 dolar AS per bushels. Begitu juga dengan harga soybean mengalami penurunan namun masih bergejolak, dan dari sisi harga jagung yang sempat turun kini sekarang merambat naik kembali, sebelumnya 582,5 dolar AS per bushels menjadi 682 dolar AS per bushels.

"Poinnya, harga komoditas ini masih sangat tidak pasti, cenderung tinggi karena memang faktor yang memengaruhinya yaitu geopolitik, seperti terjadinya perang yang mengganggu sisi pasokan, mengganggu sisi distribusi, cenderung membuat harga dari komoditas-komoditas ini menjadi tinggi dan mudah sekali bergejolak," kata Sri Mulyani.

Dari ketidakpastian harga-harga komoditas tersebut, lanjut Sri Mulyani, menyebabkan inflasi karena adanya kenaikan dari harga-harga umum berbagai negara. "Ini yang kemudian muncul dalam bentuk inflasi yaitu kenaikan dari harga-harga umum berbagai negara." 


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.