Bamus Papua: Negara Jangan Kalah Hadapi Lukas Enembe

Ketua Bamus Papua, Frans Ansanay.(foto: ist/net)

JAKARTA -- Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Papua, Frans Ansanay menyatakan, negara tidak akan dan tidak boleh kalah menghadapi oknum-oknum pelanggar hukum. Khususnya Gubernur Papua Lukas Enembe yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.

"Keinginan Lukas Enembe untuk diperiksa berdasarkan hukum adat justru bertentangan dengan tradisi leluhur Papua dan dapat berakibat fatal bagi dirinya sendiri," kata Frans pada Webinar Nasional yang digelar Moya Institute bertajuk “Drama Lukas Enembe: KPK Diuji”, Jumat (21/10/2022).

Frans meminta Lukas menjalani tahapan hukum apapun dengan baik. "Jika tidak, pemerintah bisa mengambil langkah tegas terhadap yang bersangkutan dalam kapasitasnya sebagai gubernur," tegas dia.

Pada kesempatan yang sama, pengamat politik dan isu strategis Prof Imron Cotan menilai, pemerintah harus diakui telah menunjukkan itikad baik untuk memajukan Tanah Papua. Hal tersebut terbukti antara lain melalui terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 08/2020 yang dirancang untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua dengan melibatkan seluruh kementerian dan lembaga terkait.

“Realisasi itikad baik tersebut juga termasuk peningkatan besaran dana otonomi khusus (otsus) bagi Papua dari dua persen dana alokasi umum (DAU) nasional, menjadi 2,25 persen. Sudah selayaknya good will pemerintah tersebut diimbangi secara setara oleh para pemangku kepentingan di Tanah Papua,” ujar Imron.

Terkait dengan kasus hukum yang menimpa Gubernur Papua Lukas Enembe yang menginginkan pemberlakuan hukum adat atas dirinya, menurut Imron, adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak memiliki dasar hukum apapun.

"Tanah Papua adalah wilayah integral NKRI. Kalangan yang terbuai pemikiran Papua bukan jajahan Belanda bersama wilayah-wilayah lain, pada dasarnya sedang berilusi karena tidak ada satu dokumen legal yang menyatakan demikian," lanjut Imron. "PBB melalui Resolusi Nomor 2504/1969 juga telah menasbihkan Papua sebagai bagian NKRI.”
Adapun pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menjelaskan, KPK dapat menggunakan kewenangannya guna menangkap Lukas Enembe karena membangkang terhadap upaya penegakan hukum.

Jadi, Chudry berpendapat, KPK jangan sebatas mengimplementasikan kewenangan pemanggilan saja, padahal telah melalui tahapan-tahapan penyidikan, terlepas dari apakah Lukas Enembe tidak kooperatif.

“Makanya saya heran kenapa KPK tidak langsung menangkap, hanya memanggil saja. Kenapa KPK tidak gunakan law enforcement? Padahal jelas ada pembangkangan hukum dari tersangka Lukas Enembe,” cetus Chudry.

Lalu politisi reformasi Mahfudz Siddiq mengatakan, kebijakan otsus di Aceh dan Papua sama-sama telah memasuki babak kedua. Otsus Aceh dimulai tahun 2008-2022, sedangkan Papua sejak 2000-2020 lalu.

“Nah dari babak kedua penerapan otsus ini ada yang menarik bahwa Aceh justru mengalami penurunan alokasi anggaran hingga 1 persen, sementara sebaliknya Papua meningkat 0,25 persen,” ucap Mahfudz.

Mahfudz menyampaikan, pemberlakuan otsus adalah kebijakan dari kesepakatan nasional untuk solusi masalah yang selama ini terjadi. Oleh sebab itu, babak kedua otsus Aceh dan Papua mestinya telah dapat digunakan untuk memperkuat hak afirmasi masyarakat di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks inilah, maka pembangkangan Lukas Enembe menjadi anomali.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan, kebijakan positif pemerintah membangun Papua telah dirusak oleh pemimpin daerahnya. Oleh sebab itu, menurut dia, Lukas Enembe bagaimana pun harus bertanggung jawab secara hukum terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukannya.

KPK tercatat telah menetapkan Gubernur Lukas Enembe sebagai tersangka pada 5 September 2022 yang lalu atas dugaan kasus gratifikasi dan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.