Prof Azyumardi Azra: Keislaman, Keindonesiaan, dan Sir Dunia
Oleh Hery Sucipto *)
Indonesia berduka. Salah satu ilmuwan dan tokoh terbaiknya, Prof Azyumardi Azra, wafat.
Intelektual garda depan yang di kalangan kawan dekatnya dipanggil "Bang Edi" itu mengembuskan nafas terakhir di RS Serdang, Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (18/9/2022). Kepergian Bang Edi ke Ibu Kota Malaysia itu untuk menjadi salah satu narasumber Simposium Internasional yang dihelat ABIM, organisasi intelektual di Negeri Jiran tersebut. Namun Allah berkehendak lain.
Kepergian Prof Azra sangat mengagetkan kita semua. Saya sendiri mengenal cukup dekat almarhum, sejak 2002 (sepulang dari Mesir dan menjadi jurnalis salah satu koran nasional). Di situlah saya sering berinteraksi dengan almarhum sebagai narasumber berita. Pasca tak lagi menjadi jurnalis, persahabatan saya dengan almarhum terus terbina intensif. Kerap diskusi, bahkan saya banyak berguru dan menimba ilmu kepada almarhum. Saya salah satu 'murid' beliau.
***
![]() |
Hery Sucipto dan Prof Azyumardi Azra (foto: dok. moya institute) |
Profesor Azyumardi adalah salah satu intelektual Indonesia dengan pandangan dan pemikiran yang kritis, bernas, dan solutif. Putra Padang Pariaman kelahiran 1955, itu wafat pada 18 September 2022 dalam usianya yang ke-67 tahun. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah (1998-2006) ini tutup usia di Malaysia ketika hendak menyampaikan orasi ilmiahnya dalam acara “Persidangan Antarabangsa Kosmopolitan Islam”.
Prof Azyumardi memberikan perhatian sangat besar, salah satunya, bagi kemajuan dunia pendidikan Islam. Salah satu pemikiran pendidikan Azyumardi Azra tertuang dalam tulisannya yang berjudul "Teaching Tolerance through Education in Indonesia." Artikel ini dipresentasikan pada acara diskusi bertema "Religion in Indonesia: An Overview," yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI dan Ma'arif Institute Jakarta, 19 Februari 2008 silam.
Bagi Azyumardi Azra, Islam bukan saja agama, melainkan juga fenomena historis yang beradaptasi dengan kebudayaan dan masyarakat sepanjang sejarah. Hal ini adalah dasar utama bagi penyelenggaraan pendidikan Islam, di berbagai lembaga kajian Islam maupun universitas Islam di Indonesia. Artinya, pendidikan Islam harus bernuansa keislaman akulturatif yang menghargai nilai-nilai kebudayaan lokal.
Tidak saja itu, Prof Azyumardi juga menaruh perhatian penuh terhadap pembangunan dan kebangkitan peradaban Islam, baik di Indonesia sendiri, serantau Melayu, maupun dunia Islam. Salah satu pemikirannya tentang hal tersebut tertuang dalam bukunya berjudul "The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries," (2004).
Bagi Prof Azyumardi, kebangkitan Islam tidak saja bermula sejak abad ke-20, melainkan juga digagas sejak abad ke-17. Pada abad awal ini, formasi dan ekspresi keislaman di Indonesia sudah terbentuk dengan jelas. Intelektualisme Arab telah diadopsi ke dalam idiom-idiom Indonesia untuk pertama kalinya. Untuk itulah, kebangkitan peradaban Islam di Indonesia, Melayu, dan seluruh dunia Islam dapat diteruskan dengan melanjutkan proyek peradaban yang sudah berjalan sebelumnya.
Dalam kasus Islam di Indonesia, Prof Azyumardi menilai bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Islam dan nasionalisme saling melengkapi satu sama lain. Untuk itulah, Islam di negara demokratis seperti Indonesia menunjukkan karakteristiknya yang dinamis. Untuk menjelaskan hal itu, Prof Azyumardi menulis buku berjudul “Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context,” (2006).
Dalam buku tersebut, Prof Azyumardi mengatakan bahwa Indonesia memang banyak mengalami konflik, seperti konflik antaretnis dan kelompok maupun konflik antara paham Islamisme dan Barat. Namun begitu, seluruh dinamika politik di Indonesia, terutama sejak runtuhnya era Orde Baru dan memasuki era Reformasi, dinamika politik di Indonesia mayoritas dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Sejak Orde Baru runtuh, umat Islam mampu membawa Indonesia menuju sistem demokratis. Masyarakat sipil berjasa besar dalam mendorong praktik demokratisasi terealisasi dengan baik, terutama sejak kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Baru setelah kepemimpinan jatuh ke tangan seorang presiden nasionalis, BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, politik Islam menghadapi tantangan besar dari kaum nasionalis.
Seiring berjalannya waktu, peran Islam pun mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Pemerintah Indonesia ikut mengembangkan paham Islam rahmatan lil alamin, dan praktik keberagamaan di Indonesia menjadi alternatif keberislaman dunia. Umat Muslim Indonesia yang mayoritas mulai menunjukkan sikap-sikap demokratis. Walaupun pada tahun 2002, citra Islam Indonesia tercoreng karena adanya peristiwa Bom Bali. Namun, sejak kaum radikal mulai berani menunjukkan anarkisme mereka, kaum Muslim mayoritas melakukan perlawanan, menunjukkan gerakan yang lebih massif dan global.
Islam Indonesia dan globalisasi mulai berpadu secara penuh. Dalam bukunya berjudul "Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory," yang ditulis bersama dengan Wayne Hudson (2008), Prof Azyumardi ingin menunjukkan bahwa Islam di Indonesia itu mampu menunjukkan karakteristik yang toleran, hidup damai berdampingan dengan berbagai keyakinan dan agama yang berbeda-beda.
Walaupun sejak tahun 1997, ketika terjadi kritis ekonomi dan maraknya para da'i Timur Tengah, Islam Indonesia yang moderat-toleran kembali menghadapi tantangan. Namun, Islam mayoritas di Indonesia tetap mampu menunjukkan kemampuannya berasimilasi dengan teori politik Barat, bukan yang diimpor dari Timur Tengah, seperti Khilafah dan lainnya. Sampai di sini, perhatian Prof Azyumardi tentang keislaman, keindonesiaan, dan peradaban dunia Islam sangat kentara.
Tidak heran bila ketokohan dan kiprah Prof Azyumardi diakui dunia internasional. Ini terlihat dari berbagai penghargaan yang diberikan banyak pihak kepada almarhum. Salah satunya pemberian gelar 'Sir' dari Ratu Elizabeth II. Ini adalah gelar pertama yang diberikan kepada warga negara Indonesia. Dengan begitu, Sir Azyumardi Azra diakui sebagai anggota keluarga bangsawan Inggris.
Ketika Ratu Elizabeth II memberikan gelar Sir, maka Prof Azyumardi sudah dianggap berhasil menyebarkan interpretasi Islam yang inklusif dan ramah. Bahkan, melalui pemberian gelar Sir tersebut, Prof Azyumardi disetarakan dengan beberapa tokoh besar dunia lainnya, seperti Stephen Hawking dan Tom Hardy (Kompas, 20/9/2022). Artinya, ketokohan dan kepakaran Prof Azyumardi telah mampu memberikan manfaat kepada dunia.
***
Saya sendiri merasa sangat kehilangan besar, seorang sahabat, mentor, dan guru yang sangat baik. Almarhum selalu siap sedia diajak diskusi baik via telepon, pesan singkat (chating), maupun tatap muka. Beberapa kali hadir di Moya Institute (lembaga nirlaba yang saya dirikan) sebagai narasumber webinar nasional.
Saya pribadi bahkan merasa 'berutang' kepada almarhum. Yakni pesan yang sering disampaikan beliau: "Anda kapan ambil S3? Harus segera ambil". Saya anggap pesan itu sebagai 'utang'. Pun menunjukkan perhatian dan sayangnya seorang guru dan senior kepada murid dan yuniornya. Almarhum memang besar sekali memberikan perhatian dan membimbing kalangan anak muda agar terus maju di bidangnya masing-masing.
Makanya, Indonesia betul-betul berduka atas berpulangnya Prof. Dr. Sir Azyumardi Azra. Bela sungkawa yang mendalam atas meninggalnya Prof Azyumardi. Semoga beliau husnul khotimah, amin. Dan, semoga di masa-masa mendatang, kita masih bisa menyaksikan tokoh-tokoh besar lainnya yang sekaliber Prof. Azyumardi yang kita cintai bersama ini.
*) Penulis alumnus Al-Azhar Mesir, Direktur Eksekutif Moya Institute
Post a Comment