Pakar Hukum: OTT Hakim Agung MA, Buktikan Gaji Tinggi Para Hakim Ternyata Belum Juga Cukup

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. (foto: mi/wawan)

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajat Dimyati sebagai tersangka kasus suap. Selain Sudrajat, masih ada sederet pejabat Mahkamah Agung (MA) lainnya yang ditangkap KPK karena kasus suap perkara di MA.

Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kejadian operasi tangkap tangan (OTT) KPK dan penetapan Hakim Agung (HA) Sudrajat Dimyati sebagai tersangka, menunjukkan pembenaran bahwa biaya penanganan perkara di pengadilan harus merogoh kocek yang sangat dalam.

"Ini menunjukkan pembenaran indikasi bahwa biaya mengurus urusan di pengadilan itu memang tinggi, selain ongkos perkara, fee advokat, maka harus ditambah biaya suap hakim supaya menang,” ujar Fickar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/9/2022).

Fickar melanjutkan, keterlibatan hakim MA dalam kasus suap ini mengindikasikan juga lemahnya pola rekrutmen hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY). Termasuk juga terputusnya pola pengawasan yang dilakukan KY karena ternyata KY tidak bisa membina dan mengawasi hakim agung-hakim agung yang telah direkrutnya.

"Perbaikan sistem peradilan yang memberikan gaji yang besar pada para hakim, termasuk hakim agung telah gagal total karena ternyata tidak cukup hanya dengan gaji besar saja, ternyata korupsi hakim tetap jalan," jelas Fickar.

Fickar juga menyoroti lemahnya kesadaran berbangsa dari para hakim agung. MA atau hakim yang merupakan bagian lembaga yudikatif seharusnya dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yudikatif yang menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada di masyarakat Indonesia. “Dengan peristiwa ini tampak para hakim kesadaran berbangsanya sangat lemah," keluh dia.

Fickar mengibaratkan hakim agung sebagai dewa keadilan, di mana sebagai puncak kekuasaan kehakiman tidak lagi tergiur dan memikirkan materi. Karena para hakim itu sudah matang dan tua sehingga seharusnya sebagai hakim agung sudah tumbuh sebagai semacan 'dewa keadilan' yang mumpuni. Namun dengan kasus ini, membuktikan bahwa mereka gagal menjadi dewa keadilan.

"Dengan peristiwa ini juga ternyata sistem pembuktian terbalik belum dilaksanakan dengan konsisten karena tidak tergambar kekhawatiran para pejabat termasuk hakim agung. Mereka memiliki harta banyak dengan melawan hukum. Pertanggungjawaban yang ketat, kewajiban melapor LHKPN tidak ngefek apa-apa,” tegas Fickar. "Karena itu UU tentang perampasan aset menjadi sangat relevan untuk disahkan agar harta-harta pejabat publik yang ilegal dapat dirampas oleh negara."


(dpy)

 
Baca juga artikel terkait ini:


- BREAKING NEWS: KPK Tetapkan Hakim Agung Sudrajad dan Sejumlah Pejabat dari MA Sebagai Tersangka Suap

- KPK: Hakim Agung MA Tersangka Suap, Terima Rp 800 Juta untuk Menangkan Gugatan Perdata

- Jadi Tersangka Pemberi Suap ke Hakim Agung MA, Pengacara YP: Sistem Peradilan Kita Buruk, Kami akan Buka Semuanya! 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.