Menolak Skema Baru Seleksi Penerimaan Mahasiswa di PTN

Ki Darmaningtyas (foto: darmaningtyas.blogspot.com)


Oleh Ki Darmaningtyas *)

Perombakan Seleksi Penerimaan Mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, ini mungkin sepintas lalu akan dikatakan keren bagi para pendukungnya. Tapi sesungguhnya akan mengundang banyak persoalan.

Pertama, ketentuan bahwa 50 persen berdasarkan rerata nilai rapor seluruh mata pelajaran atau mungkin istilah sekarang jalur undangan (SNMPTN) akan membuat PTN nanti didominasi oleh lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah mapan saja. Atau kalau tidak, nanti semua sekolah akan mengatrol nilai rapor muridnya agar dapat lolos seleksi.
 

Penyelewenangan seperti itu terjadi pada saat jalur undangan pertama kali diterapkan, tapi kemudian dikontrol dengan track record sekolah. Sekolah-sekolah yang alumninya banyak diterima di PTN-PTN terkemuka akan mendapatkan prioritas masuk meskipun sama-sama nilai 9 misalnya.

Akhirnya, PTN-PTN terkemuka akan didominasi oleh lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah mapan. Peluang lulusan dari sekolah-sekolah pinggiran, pelosok, atau daerah kepulauan makin sempit. Saya sendiri sudah sering menyuarakan agar jalur undangan itu dikurang dan yang diperbesar adalah jalur seleksi melalui seleksi bersama karena jalur ini yang paling berkeadilan. Adapun jalur mandiri hanya akan menguntungkan bagi yang punya uang saja.

Kedua, ketentuan maksimal 50 persen calon mahasiswa baru direkrut dari komponen penggali minat dan bakat dengan memperhatikan nilai rapor maksimal dua mapel pendukung prodi dan atau prestasi dan atau portofolio untuk prodi seni dan olahraga (SBMPTN), ini justru terbalik dari yang seharusnya terjadi agar terwujud rasa keadilan.
 

Menurut saya, calon mahasiswa baru yang diterima melalui jalur seleksi ini harusnya diperbanyak, minimal 75 persen karena ini merupakan jalur seleksi yang paling obyektif, transparan, dan sudah terbukti lebih dari 45 tahun cukup bagus, obyektif, dan transparan. Mereka yang masuk ke PTN melalui jalur seleksi bersama umumnya memiliki keragaman kemampuan dan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Ini bagus untuk menciptakan kampus yang lebih inklusif.

Ketiga, materi yang diujikan pada seleksi tes yang mencakup tes skolastik meliputi: potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, literasi dalam bahasa Inggris; juga akan sangat menguntungkan bagi lulusan SMA, SMK, MA dari perkotaan dan golongan mampu. Karena tinggal di perkotaan dan memiliki dana yang cukup, mereka bisa les bahasa Inggris sehingga tingkat literasi bahasa Inggrisnya bagus.

Tapi bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan minim fasilitas, literasi bahasa Inggris mereka mungkin jelek dan akhirnya kalah bersaing dari anak-anak di perkotaan yang mampu. Lagi-lagi jalur ketiga ini juga akan semakin mempersempit ruang bagi yang miskin baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, dan bersekolah di sekolah-sekolah yang tidak bagus.

Jadi ketiga model penerimaan mahasiswa baru di PTN yang baru dilaunching tersebut akan menjadi PTN makin segregatif dan eksklusif, semakin menutup akses bagi golongan miskin, menutup akses bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau daerah kepulauan, dan bagi lulusan SMA yang berasal dari sekolah-sekolah yang baru berdiri, swasta pinggiran, atau sekolah-sekolah lain yang tidak memiliki track record cukup baik.

Untuk itu sebaiknya, skema ini tidak dijalankan. Kecuali, kalau secara sengaja akan membentuk PTN yang semakin segragatif dan eksklusif.


@ 8 September 2022
*) Pengamat Pendidikan


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.