Krisis Ekonomi Inggris, Anak-Anak Kelaparan, Perempuan Beralih Profesi Jadi Pelacur

Krisis Inggris. (foto: pixabay)

JAKARTA -- Inggris diterpa badai krisis ekonomi mahadahsyat. Ini akibat tingginya biaya hidup di Negeri Raja Charles III tersebut.  

Inggris berada dalam situasi sulit ketika mata uangnya, poundsterling, berada dalam titik terendah sepanjang sejarah terhadap dolar AS. Ini terjadi setelah kepercayaan manajemen ekonomi dan aset Inggris menguap.

Dampaknya, negara itu dilanda krisis akibat kenaikan kebutuhan pokok. Warga Inggris pun mulai merasakan berbagai kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Harga energi melambung tinggi. Dengan kenaikan harga terbaru pada Oktober 2022, warga kemungkinan harus membayar 3.549 pound atau Rp 60,7 juta setahun untuk listrik dari sebelumnya 1.971 pound.

Perang Rusia-Ukraina turut mendorong krisis tersebut. Inggris dan sekutu melemparkan embargo atas beberapa komoditas penting dari Rusia, belum lagi terhambatnya pasokan biji-bijian dari lumbung pangan Eropa yakni Kiev, Ukraina.

Sejumlah hal ini membuat muncul fakta-fakta baru soal bagaimana krisis ini mempengaruhi kehidupan warga Inggris. Seperti dilansir CNBC, Kamis (29/9/2022), banyak perempuan Inggris kini beralih profesi menjadi pelacur atau pekerja seks komersial (PSK).

Dikutip dari Evening Standard, perempuan di Inggris terpaksa menjadi pelacur setelah putus asa mencari uang di tengah krisis biaya hidup. Jumlah panggilan ke English Collective of Prostitutes, sebuah organisasi pekerja seks akar rumput, telah melonjak sepertiga musim panas ini.

Krisis biaya hidup kini mendorong perempuan menjadi pelacur dengan berbagai cara, baik di jalan, di tempat umum, maupun online. "Secara keseluruhan apa yang kami lihat adalah orang-orang datang ke pekerjaan itu dari tempat yang putus asa," kata juru bicara English Collective of Prostitutes, Niki Adams.

Dalam laporan The Guardian, anak-anak di negara itu mulai terdampak dari sulitnya membeli kebutuhan pangan. Sebuah laporan terbaru menyebut bahwa anak-anak yang kelaparan bahkan mengunyah karet atau bersembunyi di taman bermain saat berada di sekolah karena tidak mampu membeli makan siang akibat krisis ekonomi.

Seperti dikutip Tribune The Express, badan amal Chefs in Schools sudah menyusun laporan dan fokus pada kampanye makan sehat dan pelatihan koki untuk bekerja di dapur sekolah.

Badan amal itu mendapat laporan dari satu sekolah di London tenggara, seorang anak berpura-pura makan dari kotak makan yang kosong karena tidak ingin teman-temannya tahu bahwa ia tidak memiliki makanan di rumah.

Inti dari krisis kemiskinan pangan di sekolah adalah dua masalah. Yang pertama adalah anggaran sekolah, yang mengalami tekanan karena biaya energi yang meningkat, dan yang kedua adalah kelayakan untuk mendapatkan makanan sekolah gratis.

"Kami mendengar tentang anak-anak yang sangat lapar sehingga mereka makan karet di sekolah. Anak-anak datang karena belum makan apa pun sejak makan siang sehari sebelumnya. Pemerintah harus melakukan sesuatu,” kata Kepala eksekutif Chefs in Schools, Naomi Duncan.

Duncan meminta semua anak dari keluarga dengan tunjangan kesejahteraan, yang dikenal sebagai kredit universal, memenuhi syarat untuk mendapatkan makanan sekolah gratis. Posisi ini didukung oleh serikat guru.

Duncan menambahkan, koki Chefs in Schools secara aktif kerap keluar dan mencari anak-anak yang bersembunyi di taman bermain karena berpikir anak-anak itu tidak bisa mendapatkan makanan. Koki itu lantas memberinya makanan.

Dalam laporan analis S&P Global Ratings, Inggris diduga telah berada di tengah-tengah resesi empat kuartal yang moderat. S&P menduga resesi ini sudah dimulai pada kuartal kedua tahun 2022 ini.

Itu diakibatkan oleh rumah tangga yang menghadapi inflasi hingga 9,9 persen. Angka tersebut juga diproyeksikan akan naik akibat musim dingin yang akan datang sehingga konsumen akan mengurangi belanjanya.

"Langkah-langkah dukungan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah, terutama batas atas yang ditetapkan pada tagihan energi rumah tangga biasa, akan secara signifikan melindungi anggaran rumah tangga dari tekanan inflasi yang lebih besar selama musim dingin," ucap Ketua Kondisi Kredit Regional S&P Paul Watters dalam laporan yang dikutip CNBC International, Kamis (29/9/2022). "Ini, bersama dengan ketahanan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan, adalah alasan utama kami tak memperkirakan ekonomi Inggris akan berkinerja lebih buruk."

S&P melihat Bank of England kemungkinan akan menaikkan suku bunga dari saat ini 2,25% menjadi 3,25% pada Februari 2023. Langkah itu menjadi salah satu upaya untuk mengendalikan inflasi menuju 2%.

"Di luar risiko global dan regional yang terkait dengan konflik Rusia-Ukraina, volatilitas yang berlangsung lama atau semakin dalam dalam nilai tukar pound dan pasar emas dapat menyebabkan kondisi pembiayaan yang lebih buruk dan memperburuk lingkungan ekonomi yang lebih luas di luar perkiraan kami saat ini," jelas Watters menambahkan.

Pound mencapai titik terendah sepanjang masa terhadap dolar AS pada awal pekan ini. Sementara imbal hasil emas Inggris telah melonjak karena pasar mundur setelah London berencana menambah utang hingga 72 miliar pound.

Utang ini akan digunakan Perdana Menteri (PM) Inggris Liz Truss bersama Menteri Keuangannya Kwasi Kwarteng dalam mengambil rangkaian kebijakan pengendalian krisis. Termasuk pemotongan pajak dan subsidi energi untuk rumah tangga dan bisnis yang diperkirakan menelan biaya minimal 9% dari PDB hingga tahun 2026.

Namun, di sisi lain, Bank of England (BOE) berencana untuk memberikan kenaikan suku bunga 'signifikan' ketika pertemuan berikutnya pada November mendatang. Ini dilakukan saat inflasi di negara itu belum bisa dikendalikan.


(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.