Ketua Komisi Yudisial: Hukum tidak Selalu Tegak
Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata. (foto: antara/muhammad adimaja)
JAKARTA -- Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata mengungkapkan bahwa proses penegakkan hukum tak selalu menemui jalan yang mudah. Walau demikian, ia mengajak masyarakat tak berhenti mencari keadilan.
"Para hakim sebenarnya membutuhkan masukan terkait pascaputusan. Mereka penasaran apa yang salah dari suatu putusan yang sudah diketok hingga menuai perhatian publik, sampai masyarakat ribut dan viral. Kajian akademik dan ilmiah, jika dipublikasikan bisa menginspirasi dan menambah wawasan bagi hakim," ujar Mukti dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara KY dengan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto, Jawa Tengah, seperti dalam siaran persnya, Sabtu (10/9/2022).
Hadir dalam kegiatan tersebut Pimpinan Pengadilan Negeri dan Agama Purwokerto juga daerah sekitarnya, seluruh Wakil Rektor Unsoed, pimpinan dan dosen Fakultas Hukum Unsoed, serta ratusan mahasiswa. Mukti berharap MoU ini bisa menjadi topik yang bisa dikerjasamakan dengan lembaga peradilan dan kampus. Tujuannya untuk menegakkan hukum.
"Saya berharap tak sekadar MoU ini menjadi dokumen dan masuk rak penyimpanan, tapi bisa diimplementasikan. Saya yakin semangat Jenderal Soedirman bisa ditularkan untuk menjadi semangat Unsoed. Hukum tidak selalu tegak, tapi jangan lelah mencari keadilan," jelas Mukti.
Mukti juga menyinggung kecurangan dan pelanggaran yang berpotensi terjadi dalam suatu putusan pengadilan. Hanya saja KY tidak berwenang atas putusan hakim. Pasalnya, putusan hanya bisa diubah atau dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi.
"Ini jadi problem bagi KY dan MA setelah berdiskusi, seberapa jauh independensi kekuasaan hakim dalam memutus? Apakah absolut, mutlak, terbatas, dan seterusnya. Karena kekuasaan hakim itu mutlak, tapi kita tidak tahu ada ruang gelap dalam suatu putusan sehingga hasil putusannya menjadi demikian," kata Mukti.
Walau demikian, Mukti menyampaikan lembaganya berupaya memastikan marwah peradilan tetap terjaga dan dipercaya masyarakat. "Tugas KY menjaga martabat hakim dan mengembalikan trust publik kepada lembaga peradilan," tegas dia.
Di sisi lain, Mukti menjelaskan sejarah kelahiran KY yang merupakan kehendak reformasi. Pada tahun 1998, masyarakat menghendaki reformasi sistem pemerintahan dengan pemisahan kekuasaan. Kekuasaan kehakiman pun dipisahkan.
Namun muncul isu mengenai independensi lembaga peradilan. Kekuasaan kehakiman secara doktrinal ini dinilai mutlak karena lembaga peradilan harus independen tanpa intervensi.
"Tapi ada culture lama sehingga masih ada intervensi. Muncul gagasan lembaga pengawas eksternal. Tak ujug-ujug datang. Dulu sudah ada idenya, tapi yang dinyatakan secara tegas di konstitusi yaitu dalam Pasal 24B, yaitu KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim," ujar Mukti.
Isi pasal tersebut kemudian diturunkan dalam undang-undang berupa tiga bidang kerja KY, yakni pengawasan, peningkatan kapasitas hakim, dan advokasi. KY berwenang mengawasi hakim dari segi perilaku. Dalam bidang peningkatan kapasitas, KY mengundang hakim untuk peningkatan ilmu.
"Peningkatan kapasitas ini supaya putusannya lebih berkualitas dari logika hukum, dan pengetahuan hukumnya. Bidang advokasi, di mana hakim bisa mendapatkan perlindungan dari KY. Misalnya pernah di PN Bengkalis hakim diancam dan diintidiminasi sehingga KY memberikan perlindungan," jelas Mukti.
(dpy)
Post a Comment