Kesadaran Profetik Kenaikan Harga BBM
Yons Achmad, pengamat komunikasi asal Depok. (foto: antimetri.com) |
Oleh Yons Achmad *)
Hanya dengan kesadaran profetik, kita akan lebih obyektif memandang problem kenaikan harga BBM. Tapi, sebelum masuk ke dalam bahasan lebih detail, kita ingat dulu seorang tokoh bernama Paulo Freire.
Dalam dunia aktivis dan pergerakan, nama ini tentu sangat akrab didengar. Ia tokoh pendidikan kritis asal Brasil yang cukup piawai dalam memotret beragam problem sosial.
Salah satu bahasan menarik tentangnya adalah soal "Teori Kesadaran". Dalam pandangan Paulo Freire, kesadaran manusia itu terbagi menjadi tiga, yakni kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Konsep kesadaran tersebut bisa dijadikan pijakan sebagai bekal untuk melawan para kaum penindas. Termasuk di dalamnya, rezim “plonga-plongo” yang tak kreatif dalam pengambilan kebijakan publik. Lantas, bagaimana penjelasan beragam kesadaran itu bekerja?
Pertama, kesadaran magis. Mereka percaya bahwa yang terjadi di dunia ini sudah takdir. Akhirnya menjadi pasrah saja dalam beragam keadaan. Bahkan percaya bahwa nasib dan misalnya kemiskinan yang melanda sebagai sesuatu yang harus diterima saja. Padahal, mereka inilah orang-orang yang tertindas dan sengaja dimiskinkan oleh sistem. Hanya, kesadaran itu tidak hadir karena dibelenggu oleh permasalahan kehidupan keseharian yang sudah kompleks.
Kedua, kesadaran naif. Kesadaran demikian dimiliki orang. Misalnya saat kenaikan BBM. Mereka mengerti ini kebijakan yang tidak benar. Tapi, cenderung acuh tak acuh, tak mau bersuara. Terlihat tampak kurang peduli terhadap keadaan dan nasib di sekitarnya. Yang ada, cukup menyelamatkan diri sendiri saja. Kumpulkan uang sebanyak mungkin agar tak kesusahan beli BBM. Hasilnya, dalam perspektif politik pegerakan, golongan ini cenderung menerima saja kenaikan harga BBM, toh tak jadi persoalan bagi pribadinya. Ironi.
Ketiga, kesadaran paling tinggi dalam kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesadaran kritis. Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh. Mereka melihat misalnya problem kenaikan harga BBM sebagai problem sistemik dari kebijakan yang keliru. Mereka bakal melihat secara kritis bagaimana kenaikan BBM di saat perekonomian masyarakat morat marit sebagai kebijakan yang tidak benar, hanya semakin memberatkan publik. Termasuk tentu pada akhirnya mau bersusah payah mengorganisasi kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Pandangan Paulo Freire itu cukup membantu kita memotret problem sosial. Tapi, kurang lengkap. Dalam dunia pergerakan Islam, kita mengenal istilah kesadaran profetik (kesadaran kenabian). Bagaimana kita memandang problem sosial dengan perspektif wahyu. Permasalahannya, apakah ada basis “teori-Nya” dalam perspektif wahyu dalam memotret kenaikan harga BBM? Di dalam Alquran, ada.
Salah satu basisnya surat Ali-Imran ayat 110. Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Melalui ayat di atas, dalam dunia akademik dan pergerakan, kita bisa menurunkannya menjadi "Teori Kesadaran Komprehensif". Sebut saja yang demikian sebagai “Kesadaran Profetik” (kesadaran kenabian).
Berbeda dengan Paulo Freire yang memisahkan atau membuat kategori pembedaan kesadaran. Dalam kesadaran profetik, semuanya harus berjalan beriringan. Misalnya, amar ma’ruf kita menyebutnya humanisasi. Para dai, para ulama, ketika ada kenaikan BBM sering menyuruh kita untuk bersabar saja. Tentu ini tidak salah, tapi kurang lengkap karena seolah hanya pasrah saja. Harus ada upaya lain yaitu nahi munkar (liberasi). Para ulama, dai, penceramah, tokoh pergerakan, dosen, dan intelektual harus bersuara dalam melakukan pembebasan. Bahkan harus lantang bersuara kalau kebijakan menaikan BBM itu keliru. Harus ada suara-suara perlawanan. Tidak hanya pasrah dan bersabar saja.
Terakhir, masuk perspektif spiritual. Tukminunabillah (Transendensi). Apa yang kita lakukan. Pikiran kita, gerak kita, bukan semata perspektif duniawi semata. Tapi, upaya bersama mengamalkan perintah Allah. Di mana, Rasulullah SAW sendiri sepanjang hidupnya selalu membela kaum lemah. Mungkin ada bantahan, Islam bagi semua, bukan hanya bagi kaum tertindas. Sekilas benar, tapi faktanya sekarang, di belahan bumi manapun tidak ada umat yang benar-benar terbebas dari penindasan.
Itu sebabnya harus tetap ada dan hadir para pejuang dan penegak keadilan. Kesadaran profetik harus hadir dan diamalkan. Kesadaran humanisasi, liberasi, transendensi harus berjalan beriringan. Agar keadilan dan tatanan sosial yang lebih baik bisa tercapai. Namun tetap mendapatkan ridha Allah SWT dalam setiap laku pergerakan para
pejuangnya.
*) Kolumnis, tinggal di Depok, Jawa Barat
Post a Comment