CSIS: Pemilu 2024 Melangkah ke Era Baru Lantaran Pemilih Muda

Pemilih muda di Pemilu 2024. (foto: tangkapan layar youtube podcast kpu ri)

JAKARTA -- Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan memasuki era baru. Salah satunya dikarenakan pemilih muda di rentang usia 17-39 tahun diprediksi mencapai 60 persen.

"Indonesia melangkah masuk ke era baru dalam Pemilu 2024 yang ditandai dengan karakter pemilih muda yang dinamis, adaptif, dan perhatian pada isu-isu domestik dan global, seperti kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi," ujar Arya dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/9/2022).

Era baru tersebut juga akan menandai perubahan arah kebijakan politik pasca-Pemilu 2024. Dengan pemilih muda yang lebih responsif terhadap berbagai kebijakan pemerintah, seperti di sektor kesehatan, lingkungan, dan ketenagakerjaan.

Hal tersebut akan membuat proses pembuatan kebijakan harus kolaboratif dan mendengarkan aspirasi eksternal. Era baru tersebut juga akan memunculkan animo pemilih muda untuk aktif dalam politik formal, seperti mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.

"Namun, belum tersedia mekanisme politik di internal partai yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif. Seperti masih rendahnya ketertarikan mereka menjadi kader atau anggota partai," ujar Arya.

Di samping itu, persepsi pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional juga mengalami perubahan yang besar dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dalam Pemilu 2024, pemilih muda menyukai pemimpin yang bersih, antikorupsi, inovatif, dan mampu memimpin dalam situasi krisis.

"Ke depan, visi pemimpin 2024 soal isu-isu kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi akan mempengaruhi arah dukungan atau pilihan anak muda," jelas Arya.

Dalam surveinya, pemilih muda menyebut tiga kompetensi utama untuk presiden periode 2024-2029. Ketiganya, yakni kemampuan membuat perubahan (28,7 persen), kemampuan memimpin di saat krisis (21,0 persen), dan kemampuan membuat kebijakan yang inovatif (12,2 persen).

"Kemampuan membuat anggaran yang tepat sasaran 12,2 persen, kemampuan memutuskan kebijakan yang cepat 7,3 persen, kemampuan berkolaborasi dengan dunia usaha 4,2 persen," kata Arya.

Selanjutnya adalah kemampuan perencanaan dan eksekusi kebijakan (4,1 persen), kemampuan berkolaborasi di tingkat global (2,6 persen), dan kemampuan membuat kebijakan yang populis (1,3 persen). Kemudian, kemampuan menggerakkan birokrasi (1,3 persen) dan kemampuan retorika dan persuasi publik (0,3 persen).



(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.