Soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Setara Institute: Presiden RI Jokowi Paling Lemah

Setara Institute mengkritisi Presiden Jokowi soal keppres penanganan pelanggaran HAM Berat masa lalu. Ketua Setara Institut Hendardi (tengah). (foto: jibi)

JAKARTA -- Pemerintah RI melalui Menkopolhukam Mahfud MD dan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengeklaim bahwa Keppres Penyelesaian Non-Yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu adalah terobosan pemerintah, atas tertundanya proses pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan proses penyelidikan dan penyidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Proses itu selama ini tidak ada titik temu.

Ketua Setara Institute, Hendardi menyampaikan, klaim tersebut adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas kejahatan-kejahatan masa lalu.

"Argumen KKR yang belum dibahas, bisa dibantah, mengapa baru berpikir menyelesaiakan pelanggaran HAM di sisa masa jabatan? Padahal sejak awal menjabat, bahkan sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, baik melalui Wantimpres RI maupun melalui Menkopolhukam, desakan, aspirasi, diskusi, dan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah pernah dibahas," kata Hendardi dalam keterangan resmi tertulisnya yang diterima tim Gebrak.id, Senin (22/8/2022).

Hendardi mengatakan, berkali-kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil dimintai pendapat. Tetapi nyatanya harapan itu diabaikan dengan membentuk keppres yang lebih menyerupai panitia santunan bagi korban, dan lalu kemudian dianggap telah menyelesaikan tuntutan keadilan penanganan pelanggaran HAM masa lalu.

"Presiden Jokowi tidak menangkap pesan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007, tertanggal 21 Februari 2008, yang pada intinya penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR," jelas Hendardi.

Tetapi, lanjut Hendardi, kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yang tanpa menunggu keputusan DPR, Kejaksaan Agung memulai suatu proses penyidikan. Tugas DPR kemudian hanyalah merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden RI. "Dengan demikian, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan, kalau Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR."

Pembentukan UU KKR, semestinya pula bisa diakselerasi, jika Presiden Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahannya plus partai-partai pendukungnya. Merevisi UU Minerba, UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, Jokowi dan jajarannya bisa melakukan dengan begitu cepat. "Tapi mengapa untuk KKR Jokowi terus menunda?" tanya Ketua Setara Institute tersebut.

Klaim bahwa langkah yudisial masih bisa dijalankan secara paralel adalah kosmetik politik yang ditujukan untuk melemahkan penentangan atas ide keppres ini. Judul keppres saja penyelesaian non-yudisial, maka peristiwa pelanggaran HAM berat itu dianggap sudah selesai.

Seharusnya, lanjut Hendardi, pilihan yudisial atau non-yudisial ini adalah produk akhir setelah sebuah komisi yang mengungkap kebenaran pelanggaran HAM berat selesai bekerja. Bukan sejak awal ditetapkan jalur non-yudisial karena itu artinya menegasikan jalan keadilan yang lebih obyektif, yakni jalur yudisial.

"Dari seluruh jejak advokasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, tampak Presiden Jokowi-lah yang paling lemah secara kepemimpinan sehingga ide dan rencana pemutihan pelanggaran HAM bisa diakomodasi dan menjadi kebijakan Presiden. Posisi Mahfud MD dan Jaleswari Pramodhawardani dapat dipahami dan sudah seharusnya membela produk kerja Presiden Jokowi, sekalipun itu berpotensi memanipulasi keadilan," tegas Hendardi.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.