Ratusan Lembaga Filantropi Serupa ACT Diduga Lakukan Penyelewengan Dana, Indonesia Butuh UU Baru?

Perlu aturan baru dan ketat agar tak ada penyelewangan dana di lembaga filantropi (foto: pixabay).

JAKARTA -- Kasus yang menimpa lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) menunjukkan adanya kelemahan regulasi terkait pengumpulan uang dan barang yang ada saat ini. Tak hanya ACT, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pekan ini mengungkapkan, ada 176 yayasan filantropi serupa ACT yang melakukan penyelewengan dana.

Data-data temuan itu telah diserahkan kepada Menteri Sosial RI Tri Rismaharini dan kepolisian. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana tak menyebutkan nama-nama 176 lembaga filantropi tersebut. Ia hanya menyatakan ratusan lembaga filantropi ini tak ada sangkut pautnya dengan ACT. Tapi, penemuan penyimpanan dananya memang berawal dari penelusuran kasus ACT.

Ivan mengungkapkan, 176 lembaga filantropi ini melakukan penyelewengan dana dengan modus serupa dengan ACT. Modusnya adalah menggunakan dana donasi publik untuk pengurus filantropi dan mengalirkan dana ke entitas hukum yang dibentuk oleh pengurus.

"Jadi Kami melihat pengelolaan dana itu tidak terlalu dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya sesuai dengan amanat yang disampaikan oleh Kemensos," kata Ivan kepada awak media pada pekan ini.

Ivan pun tak menutup kemungkinan bahwa jumlah temuan lembaga filantropi yang melakukan penyelewengan akan bertambah. Karena itu, PPATK dan Kemensos akan membentuk tim khusus untuk mengusut penyelewengan dana oleh semua lembaga filantropi.

Selain pembentukan tim khusus, ada masukan untuk membuat aturan baru yang lebih detail mengenai ihwal donasi, salah satunya adalah rancangan undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan.

"Sekarang ini kami sedang mengupayakan RUU Penyelenggaraan Sumbangan. Ada dua koalisi yang sedang mencermati ini, teman-teman di koalisi masyarakat sipil untuk hal akuntabilitas sumbangan," ujar Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, dalam sebuah diskusi daring, Kamis (4/8/2022).

Saat ini, terdapat empat regulasi inti yang mengatur ihwal sumbangan dan lembaga filantropi. Keempatnya adalah UU Nomor 19/1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (PUB), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38/2009 tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Ormas dari dan kepada Pihak Asing, dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 8/2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang.

Selain itu terdapat sejumlah regulasi penunjang, seperti UU Nomor 28/2004 tentang Yayasan dan UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Serta, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik.

"Undang-Undang PUB sebenarnya sudah dianggap terlalu usang sehingga sudah saatnya direvisi atau diganti," jelas Hamid.

Menurut Hamid, harapannya dengan terbitnya UU Penyelenggaraan Sumbangan, ada pengaturan yang lebih detail kepada kegiatan filantropi yang saat ini sedang berkembang pesat. Juga menjadi alat yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan filantropi sebagai hak dan partisipasi.

"RUU Penyelenggaraan Sumbangan mendorong akuntabilitas sumbangan melalui pengawasan dan penindakan yang efektif. Lebih ditekankan kepada kemudahan dan fasilitasi dalam pendaftaran atau perjanjian yang diikuti dengan pengawasan dan penindakan secara efektif," terang Hamid.

Hamid menjelaskan, pihaknya sudah mengusulkan RUU Penyelenggaraan Sumbangan kepada DPR pada 2018. RUU tersebut sempat masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2019, tetapi tidak berhasil masuk Prolegnas Prioritas.


(als)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.