Polemik Standar Seragam Sekolah dan Juga Jilbab yang Belum Juga Usai
Seragam sekolah/ilustrasi (foto: republika.co.id). |
JAKARTA -- Cuitan dengan gambar bertuliskan "Kembalikan Standar Seragam Sekolah Negeri Kayak Dulu," menjadi trending di jagat dunia maya. Khususnya di Twitter.
Faruq Salah satu akun yang membuat trending @mazdjopray, mendapat retweet hingga 5.000 lebih dan likes hingga 11.000 setelah mengunggah poster tersebut dengan menambahkan keterangan "Gassss lah @kemendikbud. Berani?" tulisnya sambil mention akun Twitter resmi Kemendikbud.
Seruan untuk mengembalikan penggunaan seragam sekolah seperti dahulu disuarakan dan sempat trending ini mengacu pada sebuah kasus di Bantul, Yogyakarta, mengenai dugaan pemaksaan seorang siswi untuk menggunakan jilbab ke sekolah. Siswi tersebut dikabarkan depresi usai dipaksa oleh gurunya untuk mengenakan jilbab. Peristiwa tersebut terjadi di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MLPS).
Aksi ini tentu saja mendapat beragam tanggapan dari netizen. Ada yang pro dan kontra.
“Setuju, kecuali untuk sekolah-sekolah swasta di bawah yayasan agama. Kalau untuk sekolah negeri harus senetral mungkin, semua atribut yg sifatnya keagamaan bahkan kebudayaan harus bersifat opsional,” reply seorang netizen.
Namun, ada pula yang tak setuju. “Sebenarnya bagus kok disuruh pakai jilbab, mungkin cara penyampaiannya aja yang salah,” reply netizen lainnya.
Sementara itu, diketahui peraturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 memang memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun jilbab.
Namun kenyataannya, kasus dugaan pemaksaan dan pelarangan menggunakan atribut keagamaan pada seragam sekolah memang kerap mengemuka di setiap tahun ajaran baru.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan aturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 sebetulnya memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun jilbab.
Tetapi kenyataannya, kasus pemaksaan dan pelarangan atribusi keagamaan pada seragam sekolah memang cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir.
“Ini yang menjadi tanda tanya, mengapa dengan adanya aturan yang seharusnya mengakhiri justru masih terus terjadi, berarti kan selama ini tidak ada evaluasi,” kata Satriwan pada Senin (1/8/2022) dikutip dari wartabanjar.com
Tetapi dia menilai kondisi saat ini pun bisa dibilang tidak lebih baik dibanding masa lalu.
Sejarah menunjukkan bahwa negara bertindak represif terhadap penggunaan jilbab di sekolah pada masa Orde Baru.
Praktik kebebasan memilih seragam itu, menurut Satriwan, sempat terlaksana cukup baik pada era 2000-an awal yang masih merupakan masa transisi dari era Orde Baru menuju era demokrasi pasca-reformasi.
“Pada masa transisi itu bisa dibilang lebih bebas dan kebebasan itu yang kemudian diformalkan melalui Permendikbud Nomor 45 Tahun 2015 itu. Mau pakai seragam pendek boleh, panjang boleh, kerudung boleh. Di situ kami berharap (intoleransi) berakhir, tapi ternyata masih terus berulang,” kata Satriwan.
(dkd)
Post a Comment