Pemerintah Wacanakan Kenaikan Harga BBM Pertalite, Rakyat Kian Menjerit

Harga BBM akan naik lagi/ilustrasi (foto: bisnisbandung.com).


JAKARTA -- Pemerintah berencana membanderol harga jual bahan bakar minyak (BBM) pertalite sebesar Rp 10.000 per liter dengan dalih kenaikan harga minyak dunia dan kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang tak lagi mampu menanggung subsidi. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Arifin Tasrif mengaku opsi menaikan harga jual pertalite memang masuk menjadi kajian pemerintah dalam merespons kenaikan harga minyak dunia dan beban APBN.

"Penyesuaian harga pertalite termasuk dalam bahan kajian kami," ujar Arifin di Kementerian ESDM, seperti dikutip dari Antara, Senin (15/8/2022).

Namun Arifin tak berani menegaskan apa saja opsi yang saat ini sedang dihitung oleh pemerintah terkait pertalite. Kata dia, saat ini pemerintah sedang mengevaluasi semua opsi dan akan memutuskan yang terbaik.

Arifin juga mengatakan saat ini pihaknya paralel menyelesaikan Revisi Perpres 191 Tahun 2014 tentang Kriteria Penerima Subsidi. Kata dia, beleid ini akan rampung pada bulan Agustus 2022 ini.

Payung hukum ini menjadi penting agar pemerintah dan Pertamina sebagai operator bisa menyalurkan barang subsidi secara tepat sasaran. Sehingga, upaya penghematan APBN bisa dilakukan tanpa harus membebani masyarakat.

Kebijakan kenaikan pertalite akan sangat berdampak pada inflasi. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai dengan kenaikan yang lebih dari Rp 2.000 per liter akan langsung berpengaruh pada inflasi dan juga menggerus daya beli masyarakat.

"Dampaknya ke inflasi akan sangat signifikan. Jika pemerintah mentargetkan inflasi di angka 4-5 persen, dengan kenaikan pertalite inflasi bisa menembus 6-7 persen," ujar Faisal seperti dikutip dari Republika, Senin (15/8/2022).

Faisal juga menilai seharusnya kebijakan menaikan harga pertalite ini tak diambil pemerintah. Sebab, menurut Faisal, APBN masih sangat cukup menambal subsidi, meskipun ada proyeksi kenaikan besaran subsidi.

Faisal mencatat APBN semester satu tahun ini surplus Rp 73 triliun. Lebih baik dibandingkan kondisi tahun lalu yang defisit Rp 270 triliun. Tahun ini, target defisit APBN sebesar 4,85 persen. Namun dengan kondisi kenaikan harga komoditas yang menambah windfall profit defisit APBN diturunkan jadi 3,9 persen.

"Sebetulnya ruang APBN utk menambah subsidi masih ada. Kalau kemudian ada opsi menambah kuota subsidi, maka beban belanja subsidi akan bertambah, BBM khususnya. Tapi ini tidak lantas membuat APBN defisitnya melewati target," ujar Faisal.

Kalaupun masyarakat harus menelan pil pahit kenaikan harga pertalite, maka menurut Faisal mestinya ini tidak dipukul rata. Menurut dia, pemerintah tetap harus memilih kelompok rentan untuk dilindungi. "Kalaupun naik semestinya jangan pukul rata, setidaknya dibedakan untuk sepeda motor, angkutan umum, maupun angkutan barang," jelas Faisal.

Jika tidak adanya jaring pelindung ini, maka menurut Faisal, daya beli masyarakat akan sangat terpengaruh. Dampaknya, akan memperburuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan kenaikan harga BBM, maka akan berdampak langsung pada inflasi.

Sejumlah pengemudi ojek pangkalan (opang) maupun ojek online (ojol) tak setuju dengan wacana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), terutama pertalite.
Madi, seorang pengemudi opang, seketika terperanjat ketika baru mengetahui informasi tersebut. Pria berusia 40 tahun itu langsung blak-blakan menolak wacana tersebut.

"Saya nggak terimalah kalau naik. Pendapatan kami saja sekarang udah ngab-ngab, masa pertalite mau dinaikin," kata Madi di tempat mangkalnya di Perempatan Bintang Mas, kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Senin (15/8/2022).

Dua pengemudi ojol bernama Arif dan Yuda juga menyampaikan penolakan serupa dengan Madi. Keduanya tak setuju harga pertalite naik karena akan membuat penghasilan berkurang.

"Dalam hati saya sudah pasti tidak setuju. Tapi saya bilang tidak setuju pun nggak bakal bisa juga mengubah keputusan pemerintah," kata Yuda ketika ditemui di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Amrullah, 35 tahun, warga Pamulang, Tangerang Selatan mengaku sedih ketika mendapatkan informasi adanya kenaikan harga pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai driver ojol tersebut mengatakan, kabar itu merupakan kabar buruk, menyusul tarif ojol yang menurut penuturannya belum ada kenaikan seperti yang diberitakan.

"Sangat keberatan, karena kan di samping argo ojek online enggak naik,  itambah kabar pertalite naik. Ya sungguh sangat berat. Itu kabar buruk," kata Amrullah.

Amrullah mengaku harga BBM yang naik membuat pengeluarannya semakin bertambah. Kondisi itu tidak sejalan dengan pendapatan yang stagnan.

Hal serupa disampaikan oleh warga lainnya, Dani. Pria usia 30 tahun yang juga merupakan driver ojol mengaku kabar kenaikan harga pertalite sangat memberatkan. "Kalau benar naik segitu, tinggi banget, memberatkan. Miris," jelasnya.

Dani menyebut, pemerintah tidak memikirkan kesulitan hidup masyarakat, terutama rakyat kecil dengan pendapatan yang terbilang minim.

Isu kenaikan harga BBM jenis pertalite membuat lesu para pengemudi angkutan kota (angkot) di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Perkiraan kenaikan harga pertalite adalah hingga Rp 10 ribu per liter. Dari semula hanya Rp 7.650 per liter.

"Belum naik saja untuk setoran susah. Mau bagaimanalah nasib sopir angkot seperti kami ini," kata Ujang, salah satu sopir angkot di Kota Bukittinggi.

Fandi, 38 tahun, seorang driver ojol di Bukittinggi juga tidak senang dengan rencana kenaikan harga pertalite. Menurut dia, kehidupan masyarakat sudah sangat sulit sejak pandemi. Sekarang dengan kenaikan BBM, ia takut beban biaya hidupnya dan keluarga untuk sehari-hari kian berat.

Fandi mengaku selama menjadi driver ojol, ia tidak pernah mengisi BBM jenis pertamax. Karena ia merasa pertamax mahal. Sekarang dengan kenaikan pertalite hingga Rp 10 ribu, sama saja dengan harga pertamax sehingga biaya operasionalnya untuk menarik penumpang akan semakin besar. "Mending kita beli pertamax saja lagi, toh sama-sama mahal," jelasnya.

Sebelumnya, pemerintah telah berulang kali melontarkan wacana untuk menaikkan harga BBM. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), misalnya, telah berulang-ulang menyebut besarnya beban APBN untuk subsidi BBM. Sebab, anggaran subsidi terus bertambah seiring naiknya harga minyak mentah dunia.

"Kami harus mensubsidi ke sana (harga BBM), dari Rp 152 triliun melompat ke Rp 502 triliun. Ini besar sekali," ujar Jokowi pada akhir Juli lalu.

Pekan lalu, giliran Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menyinggung soal wacana kenaikan harga BBM. Dia meminta masyarakat bersiap-siap jika nanti pemerintah memutuskan harga BBM naik.

Menurut Bahlil, jika harga BBM tidak naik, maka dampaknya adalah kondisi fiskal negara yang tidak sehat. Sebab, seperempat pendapatan negara yakni Rp 500 triliun harus digunakan untuk subsidi BBM.

Bahlil menjelaskan, ongkos untuk subsidi BBM melonjak karena harga minyak dunia sudah meroket akibat ketidakpastian global. Ia mencatat, harga minyak dunia rata-rata mencapai 105 dolar AS per barel dari periode Januari-Juli 2022. Padahal, asumsi harga minyak di dalam APBN hanya di kisaran 63-70 dolar AS per barel.

(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.