Jejak-Jejak Basuki (6-Penutup): Basuki dan Almamater
Anif Punto Utomo dan Menteri PUPR Basuki Hadimulyono (kiri). Keduanya sama-sama alumni Teknik Geologi UGM. |
Oleh Anif Punto Utomo *)
Pagi menjelang terik. Lapangan Pancasila di Komplek Universita Gadjah Mada (UGM) itu dipenuhi ribuan mahasiswa baru UGM. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono dengan topi proyeknya tampil memberikan orasi untuk menggugah semangat kebangsaan para mahasiswa. Ia sampaikan bahwa UGM saat ini berperan penting dalam pembangunan bangsa karena banyak alumni yang berkiprah di pemerintahan.
"Sekarang ini alumni Gadjah Mada (Joko Widodo) diamanahi oleh rakyat Indonesia untuk memimpin negara ini. Anda juga punya Menteri Luar Negeri, Anda punya Menteri Perhubungan, kalian punya Menteri PUPR, Anda punya Mensesneg, yang semuanya adalah alumni Gadjah Mada. Kami alumni selalu memegang himne Gadjah Mada," ucap Basuki.
Sebagai alumni UGM, Basuki memang selalu tampil di depan jika sudah urusan almamater. Bagi dia, UGM telah membentuk karakter kuat sehingga di manapun berada senantiasa profesional dan menjunjung tinggi nilai kejujuran. Itu pula yang ia pesankan kepada para mahasiswa baru karena kepintaran saja tidak cukup untuk menghadapi tantangan kehidupan.
"Smart is a must but not sufficient, kesuksesan orang bukan cuma karena smart, akhlakul karimah juga penting agar Anda sukses. Keberadaan Anda harus nyaman buat masyarakat dan juga membawa manfaat," kata Basuki.
Pesan lain yang disampaikan adalah meski sudah lulus, janganlah pernah meninggalkan kampus karena kampus adalah pusat perubahan. "Sekali Anda tinggalkan kampus, Anda akan ketinggalan," begitu katanya. Dan ini ia dipraktikkan, meskipun sudah menjadi penjabat namun tetap menjalin hubungan dan komunikasi dengan kampus.
Baktinya kepada almamater tak diragukan. Apa yang UGM inginkan, jika memang benar-benar dibutuhkan, Basuki berusaha mengalokasikan anggaran. Ketika UGM membutuhkan jalan lingkar di kawasan Fakultas Teknik berikut embung Basuki mengiyakan, ketika kampus lapangan geologi di Bayat sudah tidak layak dipakai, Basuki membongkar dan membangun kembali, ketika UGM membutuhkan asrama untuk mahasiswa Basuki segera membangunnya.
Perguruan tinggi yang pernah ‘menolak’ sehingga ia gagal menjadi alumnus juga dibangunkan asrama mahasiswa dan rumah susun untuk dosen mudanya. Ceritanya selepas SMA Basuki langsung menuju Bandung untuk tes masuk ITB. Tidak lolos. "Ibu saya bilang, kalau tidak di ITB, pulang. Sejak saat itu saya dendam ke ITB. Dendam membara," kelakarnya di hadapan petinggi kampus Ganesha.
Ketika sudah menjadi pejabat di Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PUPR, Basuki kembali ingin sekolah S2 di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB yang berlokasi di Sampoerna Strategic di Jakarta. Kembali ditolak. ‘’Wah cari gara-gara nih ITB,’’ kelakarnya lagi sembari tersenyum.
‘’Tapi hari ini dendam saya kepada ITB terbalas sudah,’’ kata Basuki. Ya hari itu, 16 Januari 2020 Basuki mendapat penghargaan doktor kehormatan dari ITB.
Kedekatan dengan almamater bukan hanya dicerminkan dari pembangunan fisik --karena jika hanya pembangunan fisik perguruan tinggi lain juga dapat-- namun juga di kegiatan alumni. Di hampir setiap acara reuni alumni Basuki selalu berusaha hadir memeriahkan.
Ketika keluarga alumni Teknik Geologi (Kageogama) mengadakan reuni misalnya, Basuki selalu bergabung, bahkan diundang reuni adik angkatan saja ia hadir. Saat alumni keluarga alumni Fakultas Teknik (Katgama) mengadakan reuni, Basuki juga hadir apalagi dia pernah menjadi ketuanya. Jika reuni besar UGM (Kagama), hampir pasti Basuki ada di tengah keriuhan.
Lantaran kepeduliannya terhadap almamater, Basuki juga terpilih menjadi anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UGM selama dua periode yakni 2016-2021 dan 2021-2026. Keterpilihan menjadi anggota MWA itu melintas tiga rektor yakni Prof Dwikorita Karnawati, Prof Panut Mulyono, dan Prof Ova Emilia. Atas prestasinya pula UGM lewat Fakultas Teknik dan Katgama memberikan penghargaan Herman Johannes Award kepada Basuki.
Basuki bukan hanya ingat kepada kampusnya, tetapi juga hormat kepada guru-gurunya yang mengajar saat kuliah. Salah satu yang sering disebut adalah Wartono Rahardjo yang akrab dipanggil Pak Ton. Ketika sang guru itu meluncurkan buku biografi berjudul ‘Bersama Mengayuh Biduk’ secara daring, Basuki yang sedang dalam perjalanan darat menyempatkan berhenti mampir di salah satu kantor di Solo untuk memberikan testimoni.
Dalam beberapa kesempatan Pak Ton tak pernah lupa menyisipkan wejangan singkat kepada Basuki. ‘’Sing ati-ati yo le.’’ Begitu saja wejangannya. Singkat tapi memiliki makna yang sangat dalam karena dengan kehati-hatian, seseorang tidak akan mudah tergelincir. Basuki selalu mengingatnya.
Almamater bagi Basuki adalah segalanya. Karena itu dia selalu menjaganya. ‘’Saat bekerja saya selalu teringat dua hal, yakni almamater dan keluarga. Ini yang menjadi semacam kompas bagi saya. Saya harus bekerja dengan benar dan profesional karena saya tak mau membuat malu almamater dan keluarga saya.’’
@Selasa, 30 Agustus 2022
*) Jurnalis senior & penulis buku
Baca juga artikel terkait ini:
- Jejak-Jejak Basuki (1): Panglima Infrastruktur
- Jejak-Jejak Basuki (2): Daendels Vs ‘Daendels’
- Jejak-Jejak Basuki (3): Pro-Oligarki atau Pro-Rakyat
Post a Comment