Jejak-Jejak Basuki (5): IKN, Pertaruhan Terakhir

Anif Punto Utomo dan Menteri PUPR Basuki Hadimulyono (kiri).

Oleh Anif Punto Utomo *)

"Pada kesempatan yang bersejarah ini. Dengan memohon ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari bapak-ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan."

Kutipan di atas disampaikan Presiden RI Jokowi dalam Pidato Kenegaraan 2019 di hadapan anggota DPR dan DPD di komplek Parlemen Senayan. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Ketika tekad itu sudah ditetapkan, apapun tantangannya tetap harus dihadapi. Dan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono berada di garda depan untuk mewujudkan berdirinya IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara.

Basuki pun segera menggelar lomba desain Istana Negara. Dari situ terpilih Istana Negara berbentuk burung Garuda karya Nyoman Nuarta. Berikutnya desain komplek IKN yang meliputi Komplek Istana Wapres, Komplek Perkantoran Yudikatif, Komplek Perkantoran Legislatif, dan Komplek Peribadatan juga sudah dipilih. Pembangunan fisik dimulai tahun ini juga. Harapannya, upacara 17 Agutus 2024 sudah dilaksanakan di IKN.

Basuki yang sudah terbiasa dengan target fantastis tidak gentar meskipun pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) harus selesai 2024. Total anggaran untuk prasarana dasar yang dikerjakan PUPR sebesar Rp 43 triliun, terdiri atas Rp 5,4 triliun (2022), Rp 20,8 triliun (2023), dan 16,8 triliun (2024).

Apakah pindah ibu kota sudah mendesak? Jawabannya: Ya!

Ambisi besar pemindahan ibu kota sudah ditekadkan Presiden Sukarno pada 1957. Saat itu yang diincar adalah Palangkaraya. Namun karena kondisi politik dan ekonomi tidak stabil keinginan itu terkubur.

Di zaman Orde Baru, Presiden Suharto menggagas pemindahan ibukota, ia meniru Malaysia, hanya bergeser sedikit dari ibukota eksisting, yakni ke Jonggol, Bogor. Para spekulan tanah sempat memborong lahan di daerah itu. Gagal, karena terlalu banyak kepentingan politik dan bisnis. Ketika zaman Presiden SBY, berwacana pun tidak.

Meskipun sudah ditekadkan sejak dulu, tapi apakah harus pindah sekarang ketika ekonomi Indonesia baru saja dihajar pandemi Covid-19?  Ada pertimbangan teknis dan politis. Pertimbangan teknis terkait dengan kondisi Jakarta yang sejak zaman Belanda dulu sudah menjadi pusat kekuasaan. Pertimbangan politis terkait keberanian seorang pemimpin.

Jakarta adalah kota pusat segalanya: pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat seni-budaya, pusat keramaian, sampai pada episentrum politik. Beban Jakarta sudah terlalu berat untuk menyangga semuanya. Saatnya beban itu didistribusikan ke wilayah lain, bukan saja untuk menyelamatkan Jakarta melainkan juga untuk keadilan ekonomi yang selama ini terkesan Jakartasentris dan Jawasentris.

Ada empat masalah yang menjadi problem mendesak Jakarta, yakni kemacetan, penurunan muka tanah, penyediaan air bersih, dan ancaman bencana.

Kemacetan. "Kemacetan Jakarta sudah sampai 48 persen sehingga betul-betul sangat tidak nyaman," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Latif Usman 22 Agustus 2022 lalu.

Persentase itu artinya rata-rata perjalanan 48 persen lebih lama jika dibandingkan dengan perjalanan di kondisi lengang. Jadi kalau dalam kondisi lengang bisa dilalui 60 menit, dengan tingkat kemacetan 48 persen berarti untuk jarak yang sama dibutuhkan waktu 88,8 menit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) makin menguatkan. Jumlah mobil dan motor di Jakarta pada 2019 sebanyak 2,8 juta dan 11,83 juta.

Pada 2020 jumlah itu naik menjadi 3,36 juta (naik 20 persen) dan 20,22 juta (naik 70 persen). Dengan asumsi pertumbuhan 15 persen mobil dan 20 persen motor, lima tahun mendatang jumlah mobil 6 juta, dan motor 60 juta. Jakarta stuck. Jutaan kiloliter BBM bersubsidi terbuang sia-sia karena macet. Keberadaan MRT, LRT, dan busway sangat baik, tetapi sifatnya hanya mengurangi pertumbuhan permintaan mobil, tidak menyetopnya.

Penurunan permukaan tanah (land subsidence). Penyedotan air tanah yang berlebihan ditambah kompaksi batuan, beratnya beban bangunan, dan aktivitas tektonik membuat permukaan tanah di Jakarta terus menurun. Data menunjukkan setiap tahun terjadi penurunan tanah 6-12 cm. Suatu saat nanti Istana Negara akan berada di bawah muka air laut. Bahkan pada 2050 nanti ada yang meramalkan Jakarta akan tenggelam.

Penyediaan air bersih. Saat ini PAM Jakarta tak mampu memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya penyedotan air tanah secara berlebihan. PAM dipasok dari air waduk Jatiluhur. Persoalan lain adalah dengan berdirinya bangunan yang tidak beraturan menyebabkan pembuatan jaringan pipa untuk menyalurkan air PAM menjadi sulit dan berbiaya tinggi.  

Ancaman bencana, banjir dan gempa. Banjir sudah menjadi langganan bagi Jakarta. Pada kondisi tertentu Jakarta diserbu air secara bersamaan dari tiga penjuru yakni darat, langit, dan laut. Darat adalah banjir kiriman dari Bogor dan kawasan Puncak. Langit adalah hujan. Laut adalah banjir rob. Saat ini 50 persen wilayah Jakarta rawan banjir 10 tahunan. Tanpa penanganan serius semakin tahun ancaman banjir akan semakin besar.

Berikutnya gempa. Gempa di Jakarta selama ini digoyang dari pergerakan lempeng dan megatrust di selatan Jawa. Selama kehidupan masih ada, gempa akan selalu menghantui Jakarta. Belakangan yang lebih dikhawatirkan adalah potensi gempa dari Sesar Baribis yang melintas di selatan Jakarta. Sesar ini sedang diteliti tingkat keaktifannya, termasuk diteliti apakah gempa besar yang terjadi pada 1699 atau 1834 karena pergeseran Sesar Baribis. Ini sangat mengkhawatirkan karena sumber gempa dari perut bumi Jakarta.

Jika ibu kota pindah, Jakarta tidak lagi menjadi pusat segalanya sehingga urbanisasi tidak setinggi sekarang (sejak tahun 2010 rata-rata penambahan penduduk 88.000 jiwa per tahun). Berkurangnya urbanisasi akan menurunkan pertumbuhan kepemilikan mobil dan motor, akan menurunkan pertumbuhan kebutuhan air bersih, akan mengurangi eksploitasi air tanah sehingga penurunan permukaan tanah bisa sedikit direm.

Jokowi berkeinginan IKN bukan hanya simbol identitas negara, tetapi juga menjadi representasi kemajuan bangsa. Konsep yang diusung adalah modern, smart and green city, memakai energi baru terbarukan. Jakarta tidak bisa disulap menjadi seperti itu. Tak heran jika Basuki berpendapat bahwa memperbaiki dan menjadikan Jakarta sebagai ibu kota yang modern biayanya lebih mahal dibanding membangun ibu kota baru. Itulah kenapa ibu kota segera pindah.

Untuk pertimbangan politis, sifatnya lebih personal. Pemindahan ibu kota terkait dengan sosok pemimpin yang mensyaratkan nyali besar seorang presiden. Jokowi memenuhinya, punya nyali dan bermental kuat. Nyali membuat keputusan yang tidak populis tetapi akan menjadi lompatan besar bagi peradaban Indonesia. Mental baja menerima cibiran, hinaan, dan makian demi tujuan besar.

Jika pemindahan ibu kota ditunda, entah kapan ibu kota akan terealisasi. Mengingat berdasarkan jejak-jejak yang telah ditorehkan oleh beberapa nama yang saat ini beredar sebagai calon presiden, mohon maaf, terlihat nyali mereka sedang-sedang saja. Jika tidak pindah di masa pemerintahannya, bisa jadi presiden pengganti Jokowi membatalkan undang-undang pemindahan ibu kota karena nyalinya ciut dihajar kiri-kanan.

Dalam pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur terselip nuansa pemerataan dan keadilan. Selama ini perhatian pemerintah banyak terkonsentrasi di wilayah barat, terutama Jawa. Akibatnya 58 persen perputaran ekonomi ada di Jawa. Dengan ibu kota pindah ke Kalimantan, akan terjadi distribusi ekonomi ke wilayah timur sehingga di situ tercipta pemerataan dan keadilan. Kelak tak ada Jakartasentris dan Jawasentris, melainkan Indonesiasentris.

Memang banyak pertanyaan tentang dana untuk pembangunan. Ekonomi sedang sulit, kenapa dipaksakan pindah? Total kebutuhan dana seperti pernah disampaikan Basuki adalah Rp 466 triliun di mana 20 persen (Rp 93,2 triliun) berasal dari APBN dan sisanya dari swasta baik asing maupun lokal. Bisa dalam bentuk public private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).

Sampai 2024 nanti untuk prasarana dasar dibutuhkan Rp 43 triliun, jadi untuk tahun-tahun berikutnya tinggal Rp 50,2 triliun. Kalau kebutuhan sebesar itu dibagi tiga tahun, maka pada 2025-2027 dari kantong APBN hanya keluar Rp 16,7 triliun per tahun. Tidak besar untuk ukuran RAPBN yang pada 2023 saja sudah tembus Rp 3.000 triliun. Lagi pula seandainya subsidi BBM bisa tepat sasaran, besaran subsidi energi yang Rp 502 triliun akan berkurang dan bisa dialokasikan ke IKN.

Basuki tidak tangung-tangung dalam mengawal pembangunan IKN, apalagi Kementerian PUPR menjadi menjadi tumpuan awal pembangunan IKN. Basuki merasa perlu meningkatkan SDM-nya agar makin andal dan kompeten. Untuk itu Basuki mengirim 25 orang untuk belajar ke Korea Selatan guna membangun IKN.  

Pembangunan IKN akan menjadi pertaruhan besar bagi Basuki. Jika berhasil maka daftar jejak fenomenal yang ditorehkan akan semakin lengkap.



@Selasa, 23 Agustus 2022
*) Jurnalis senior & penulis buku



Baca juga artikel terkait ini:

- Jejak-Jejak Basuki (1): Panglima Infrastruktur

- Jejak-Jejak Basuki (2): Daendels Vs ‘Daendels’

- Jejak-Jejak Basuki (3): Pro-Oligarki atau Pro-Rakyat

- Jejak-Jejak Basuki (4): Bandung 'Bendungan' Bondowoso

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.