Jejak-Jejak Basuki (4): Bandung 'Bendungan' Bondowoso

Bendungan Jatigede, Jawa Barat. (foto: sda.pu.go.id).

Oleh Anif Punto Utomo *)

Bendungan Jatigede, Jawa Barat. Sudah sejak 1967 direncanakan. Pada 1982 baru mulai dilakukan pendataan tanah warga yang akan terkena penggusuran. Proses kontruksi dimulai 2007 tapi berhenti di tengah jalan, tidak tuntas.  

Kenapa tidak segera dituntaskan? Ada Sesar Baribis yang melintas kawasan. Sesar merupakan istilah dalam geologi, yaitu bidang rekahan yang disertai adanya pergeseran relatif satu blok terhadap blok batuan lainnya. Pergeseran ke samping disebut sesar geser, pergeseran naik/turun disebut sesar naik atau sesar turun. Jika ada bangunan menyeberang jalur sesar, akan roboh ketika sesar bergerak. Karena itu beberapa geolog merekomendasikan bendungan jangan dibangun karena berbahaya.

Namun Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono  yang juga seorang geolog berpikiran lain. Dia paham betul bahwa di Jawa tak ada satu jengkal tanah pun yang bebas dari sesar. Kalau mau membangun takut sesar, akhirnya mangkrak seperti Jatigede. Jadi begitu Presiden Jokowi memerintahkan waduk segera dituntaskan, tidak ada keraguan. Keberadaan sesar bisa diantisipasi dengan dukungan data dan studi untuk meminimalkan risiko yang mungkin timbul. "Di situlah ahli geologi berperan," kata Basuki.

Akhirnya pada 2014 pembangunan Waduk Jatigede dilanjutkan dan selesai. Penggenangan mulai 31 Agustus 2015. Waduk seluas 4.800 hektare itu merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Jatiluhur. Selain untuk meredam banjir, Jatigede yang berkapasitas 980 juta m3 juga akan mengairi 90 ribu hektare lahan dan untuk pembangkit listrik.  

Waduk Jatigede merupakan satu dari 61 bendungan yang dibangun Basuki selama periode 2015-2019 dan 2020-2024. Sampai pertengahan Juni 2022 sudah 29 bendungan yang tuntas dibangun dan sudah beroperasi, sisanya 32 masih dalam proses penyelesaian. Selain bendungan, pemerintah juga menargetkan membangun embung hingga 2024 sebanyak 4.500! Dahsyat betul.

Tentu ada yang tidak sepakat dengan pembangunan bendungan, apalagi dilakukan secara masif. Beberapa pertanyaan kritis muncul misalnya menenggelamkan lahan subur sehingga kontradiktif dengan keinginan swasembada pangan, umur bendungan singkat karena tingginya pendangkalan, merangsang pertanian skala besar, ongkos sosial dan lingkungan tinggi, pembebasan ganti rugi diiringi intimidasi, dan masih ada energi hijau lain selain pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Kenapa sih pemerintah repot-repot membangun bendungan? Sederhana jawabnya: bendungan multimanfaat. Bahwa setiap pembangunan selalu ada yang menjadi korban, betul. ‘Jer Basuki Mowo Beyo’ begitu filosofi orang Jawa. Untuk berhasil, membutuhkan pengorbanan. Yang penting manfaat harus jauh lebih besar dibanding mudharat.

Dalam kaitan dengan ekonomi lokal, hadirnya bendungan memunculkan manfaat wisata. Masyarakat Indonesia sekarang sudah menjadikan wisata sebagai kebutuhan primer, suka piknik. Wisata berkembang, UMKM masyarakat setempat akan hidup. Banyak desa yang sukses mengembangkan desa wisata sehingga penghasilan dari wisata dapat mengalahkan penghasilan sebagai petani.

Bendungan sebagai tempat budidaya perikanan juga akan menjadi mata pencaharian baru. Ikan yang berkembang biak secara liar dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi maupun dijual. Baik wisata air ataupun jadi nelayan bendungan akan memunculkan gegar budaya, dari budaya darat menjadi budaya air. Perlu penyesuaian, tapi pasti bisa karena manusia secara kolegial adalah mahluk yang mudah menyesuaikan diri.

Terkait dengan banjir, bendungan juga berfungsi mengendalikan. Tanpa ada bendungan jika terjadi hujan lebat semua akan masuk ke sungai, air akan mengalir deras tanpa terkendali jika terjadi hujan lebat. Ini yang mengakibatkan banjir bandang yang kerap menyapu perkampungan. Bendungan dapat mencegahnya.

Contoh penangkalan banjir adalah dibangunnya bendungan di Ciawi dan Sukamahi untuk  menangkal banjir di Jakarta jika terjadi hujan deras di hulu. Keduanya tipe bendungan kering yang hanya menampung air saat terjadi hujan. Selama ini ketika hujan di hulu semua mengalir ke Jakarta sehingga mengakibatkan banjir, nantinya air ditampung di bendungan kering. Banjir di Jakarta berkurang.

Penyediaan air bersih juga menjadi manfaat bendungan. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa suplai air bersih untuk Jakarta 80 persen berasal dari waduk Jatiluhur di Purwakarta. Untuk penyediaan air bersih di Ibu Kota Negara (IKN), Basuki sedang membangun Waduk Sepaku Semoi. Langkah ini menjawab kekhawatiran sulitnya air bersih di Kalimantan, sebagimana banyak dirasakan penduduk Balikpapan.

Bendungan mendukung ketahanan pangan lewat irigasi yang mengatur kontinuitas ketersediaan air. Basuki melaporkan ke presiden, bendungan berkontribusi terhadap produksi beras. Jadi meskipun lahan pertanian menyusut ditimpa lagi dengan fenomena perubahan iklim, berkat tambahan bendungan dalam tiga tahun terakhir beras selalu surplus (swasembada) dengan produksi sekitar 31,5 juta ton per tahun.

Atas prestasi swasembada selama 2019-2021, International Rice Research Institute (IRRI) memberi penghargaan bertajuk 'Acknowledgment for Achieving Agri-Food System Resiliency and Rice Self Sufficiency During 2019-2021 Through the Application of Rice Innovation Technology' ke Pemerintah Indonesia. Penghargaan diserahkan ke Jokowi pada Ahad 14 Agustus 2022 lalu.

Kata Basuki, bendungan menaikkan Indeks Pertanaman (IP). Sebelumnya dengan 231 bendungan yang ada IP sebesar 147 persen, dengan tambahan 61 bendungan akan menjadi 200 persen. IP adalah rata-rata masa tanam dan panen dalam satu tahun pada lahan yang sama. Contoh kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah ada Bendungan Rotiklot, senyum petani kecil merekah karena sawah yang sebelumnya panen setahun sekali, menjadi dua kali. Puluhan ribu petani kecil menikmati keberadaan bendungan.

Tak kalah pentingnya, bendungan identik dengan energi hijau yakni PLTA. Dari sekian bendungan yang dibangun Basuki, 18 di antaranya terdapat PLTA, salah satunya Bendungan Jatigede yang akan menghasilkan listrik 110MW. Bahkan perusahaan swasta sengaja membangun bendungan di Kalimantan Utara untuk PLTA. Rencananya akan dibangun lima bendungan yang membendung Sungai Kayan dan akan menghasilkan listrik 9GW.

Untuk energi hijau kan ada tenaga matahari, tenaga angin, mikrohidro, biomasa, geotermal? Betul, tapi untuk memenuhi target energi baru terbarukan (EBT) yang 31 persen pada 2050 tidak mungkin tanpa PLTA. Bahkan sampai saat ini kontribusi PLTA masih terbesar dalam EBT, baru kemudian panas bumi. Tenaga matahari dan angin meski berlimpah tetapi belum efisien dikerjakan dalam skala besar. Dari seluruh listrik EBT, PLTA menyumbang 58 persen atau sekitar 10,66GW. Artinya, bendungan turut berkontribusi terhadap ketahanan energi.

Bagaimana dengan penggusuran paksa, ganti rugi yang memberatkan dan intimidasi? Pengalaman zaman Orde Baru masih traumatik bagi sebagian orang. Kasus yang tak pernah terlupakan adalah pembangunan Waduk Kedung Ombo di Wonogiri. Ribuan keluarga digusur dengan ganti rugi yang tidak memadai. Bagi yang menolak, langsung dicap PKI. Intimidasi dan ancaman dirasakan masyarakat.

Pada pembangunan sekarang, penggusuran relatif senyap. Mungkin ada sedikit penolakan di sana-sini, dan itu wajar, namun bisa diselesaikan. Apalagi ganti rugi yang diberikan cukup memadai. Sedikit heboh terjadi di Desa Wadas Purworejo. Tapi itu pun tidak terkait langsung dengan penenggelaman lahan, melainkan lebih pada penambangan batu untuk suplai kontruksi. Sekarang sudah mereda, yang menerima ganti rugi bertambah, meskipun masih tetap ada perlawanan dari sebagian masyarakat.

Kekhawatiran terjadi sedimentasi berlebihan karena di hulu sudah nyaris tak ada pohon dijawab Basuki dengan menggerakkan penanaman pohon di hulu. Jenis pohon berupa tanaman keras seperti angasana, mahoni, sengon, trembesi, dan cendana. Ada juga durian, sawo, rambutan, manggara, sukun, jambu mete, dan matoa. Tujuannya, mengamankan sedimentasi dan longsor. Tapi untuk ini kementerian lain yang harusnya lebih berperan.

Puluhan bendungan dan ribuan embung merupakan bagian dari kerja besar Basuki yang utamanya terkait dengan pangan dan energi.

Di Jawa kita akrab dengan kisah legenda Bandung Bondowoso yang membangun 1.000 candi dalam satu malam yang kini dikenal sebagai Candi Prambanan. Di era milenial, hadir seorang Basuki yang bisa diibaratkan Bandung Bondowoso karena membangun 61 bendungan dalam waktu satu dekade. Bedanya, Bandung Bondowoso membangun demi cintanya pada Roro Jonggrang, sedangkan Basuki demi cintanya pada NKRI.

@Selasa 16 Agustus 2022

*) Jurnalis senior & penulis buku

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.