Catatan SETARA Institute dalam Penegakan Hukum dan Etik Polri pada Kasus Pembunuhan Brigadir J

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo (kedua kiri) bersama Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi (kiri) dan Karopenmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan (kedua kanan) memberikan keterangan pers di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022). (foto: antara/asprilla dwi adha)

JAKARTA -- Ketua SETARA Institute Hendardi memberikan tanggapan atas kelanjutan proses penegakan hukum dan etik dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua atau Brigadir J di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo. Hendardi menyatakan secara umum penetapan status tersangka terhadap Ferdy Sambo serta beberapa personel dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh tim khusus bentukan Kapolri bisa dikatakan telah mengesankan penegakan hukum yang lebih tegas dan tak pandang bulu di dalam tubuh Polri.

Namun Hendardi menekankan penerapan status tersangka maupun dugaan pelanggaran kode etik terhadap puluhan personel baik dari Polres Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya maupun Mabes Polri mesti benar-benar fair, akuntabel. dan terbuka dalam prosesnya.

"Hal ini penting untuk memastikan tidak terjadi demoralisasi terhadap anggota Polri," ujar Hendardi dalam siaran persnya seperti yang diterima tim gebrak.id, Selasa (16/8/2022).

Kemudian untuk anggota yang diduga melanggar kode etik, Hendardi mengatakan tentu dapat dijerat pidana apabila bisa dibuktikan yang bersangkutan memang terkait langsung dengan peristiwa pidananya atau turut serta membantu tindak pidana.

Namun, lanjut Hendardi, penetapan jerat pidana tersebut harus dilakukan secara berhati-hati dan bertanggung jawab serta harus cukup terbuka tentang tindak pidana apa yang dilakukan yang bersangkutan. "Banyak dari anggota yang sebenarnya hanyalah korban skenario di awal kasus ini muncul," kata Hendardi.

Melihat cukup banyak personel Polri yang diperiksa berkaitan dengan pelanggaran etik dan pidana, menurut Hendardi, sangat penting dipertimbangkan tentang kondisi mental dan moral anggota serta kewibawaan institusi.

Dugaan sangkaan atau menyatakan ketidakprofesionalan anggota mesti dengan pertimbangan matang menyangkut apakah seluruh personel dalam tiga jenjang proses penyelidikan dan penyidikan dimulai di Polres Jakarta Selatan, lalu Polda Metro Jaya, maupun terakhir di Bareskrim Mabes Polri memiliki dasar fakta-fakta awal yang sama dan transparan untuk dianalisis.

"Juga kecenderungan penerapan dugaan dan sanksi etik ini secara tidak transparan dapat menuai prasangka pemanfaatan untuk interest tertentu maupun upaya menyudutkan pihak-pihak tertentu secara unfair," jelas Hendardi.

Hendardi menyatakan seyogianya setiap proses pemeriksaan baik hukum maupun etik dapat diinfokan secara bertahap dan terbuka untuk menghindari prasangka-prasangka dan menunjukkan proses yang akuntabel. Termasuk di dalamnya melibatkan Kompolnas dalam pengawasan proses sesuai kewenangannya sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat g dan f Perpres 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.

(dpy)

 

Baca juga artikel terkait ini:
 

- Buntut Kasus Brigadir J, 16 Perwira Polri Masuk Patsus karena Langgar Kode Etik

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.