Anggota Polri Penghambat Penyidikan Pembunuhan Brigadir J Harus Dipidana

Anggota Polri/ilustrasi (foto: liputan6.com).

JAKARTA -- Para anggota Polri pelaku obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau J, tak cukup hanya diberikan sanksi etik. Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia (KP-HAM) meminta agar Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyeret para anggotanya yang membantu perintangan pengungkapan dan penyidikan hukum pembunuhan Brigadir J ke ranah pidana.

Pengacara KP-HAM Abusaid Pelu menilai, sanksi yang diberikan Polri kepada anggotanya saat ini, cuma berupa penempatan khusus (patsus). Padahal, lanjut dia, perbuatan obstruction of justice yang dilakukan para anggota Polri itu, bukan cuma mencoreng-moreng korps Polri sebagai aparat penegak hukum. Namun juga mengangkangi proses penegakan hukum.

"Semua pejabat (anggota) Polri yang terlibat, merusak, menghancurkan, dan menghilangkan barang bukti dalam kasus pembunuhan Brigadir J itu harus diproses hukum. Tidak cukup dengan hanya penempatan khusus. Karena yang dilakukan itu, bukan lagi pelanggaran etika dan profesi, tetapi sudah merupakan pelanggaran pidana,” kata Abusaid dalam siaran pers, yang diterima awak media di Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Abusaid menyatakan, aksi para anggota Polri, ‘pembantu’ tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo itu sudah melanggar ketentuan Pasal 233 dan Pasal 52 KUH Pidana. Pasal 233 itu, terkait dengan ancaman pidana atas rangkaian obstruction of justice, berupa kesengajaan menghancurkan, merusak, menghilangkan barang-barang bukti terkait dengan pembuktian peristiwa pidana. Aturan itu memberikan sanksi empat tahun penjara. Pasal 52 menambahkan sanksi lebih berat jika perbuatan Pasal 233 tersebut dilakukan oleh pejabat negara pun aparat penegak hukum.

Karena itu, menurut Abusaid, akan menjadi tak konsisten bagi Polri, sebagai korps penegak hukum utama, mengabaikan sanksi pidana atas anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum berat berupa obstruction of justice. KP-HAM, kata Abusaid, menagih komitmen Kapolri Jenderal Sigit, yang pernah mengatakan, bakal tetap menjerat pidana para anggotanya yang terbukti melakukan penghambatan dalam proses pengungkapan dan penyidikan hukum atas pembunuhan Brigadir J.

"Jika ada komitmen besar untuk mengungkap tuntas kasus ini (pembunuhan Brigadir J), maka bagi anggota Polri yang melakukan perintangan proses hukum, juga harus diproses ke ranah pidana secara serius,” tegas Abusaid.

Hal serupa juga pernah disampaikan sejumlah pihak terkait pidana turunan dalam kasus pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Sambo ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pekan lalu mengatakan, fakta terjadinya obstruction of justice dalam proses pengungkapan pembunuhan Brigadir J ini terindikasi kuat.

Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam mengatakan, hal tersebut pun diakui oleh Irjen Sambo sebagai dalang dan tokoh utama perencanaan pembunuhan Brigadir J. “Obstruction of justice dalam konteks HAM, masuk ke ranah pidana. Tak cukup hanya (pemberian sanksi) kode etik,” ujar Anam, Kamis (11/8/2022).

Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, Selasa (16/8/2022) pun meminta agar Kapolri menjalankan komitmennya untuk tak hanya memberikan sanksi etik terhadap para anggotanya yang membantu Irjen Sambo merekayasa dan membuat skenario palsu, sampai pada penghambatan proses pengungkapan kematian Brigadir J.

Sampai Selasa (16/8/2022), proses pemeriksaan etik para anggota Polri yang membantu Irjen Sambo dalam menghambat pengungkapan pembunuhan Brigadir J, sudah dilakukan terhadap 63 nama. Para anggota yang diperiksa itu dari beragam kepangkatan. Sebanyak 16 di antaranya sudah harus dalam penempatan khusus di Mako Brimob dan di Provost untuk ditahan.

Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Polri sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Yakni Irjen Sambo, dan Bharada Richard Eliezer (E), Bripka Ricky Rizal (RR), dan satu warga biasa inisial KM. Empat tersangka itu dijerat dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Empat tersangka itu terancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun penjara.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.